Hanya bermodal integritas tak cukup menjadi pemimpin di Indonesia

Hanya bermodal integritas tak cukup menjadi pemimpin di Indonesia

Rizal Ramli menjadi simbol perlawanan rakyat yang tertindas dalam melawan para komprador, namun Jokowi membela Ahok Luhut dipasang setelah berhasil menyingkirkan Rizal Ramli


Sejarah kekuasaan bercerita layaknya sebuah novel yang kita baca sambil minum teh di sore hari..

Demi Bela Ahok dan Pengembang Reklamasi, Jokowi Pecat Rizal Ramli

Rizal Ramli tampil sebagai Menko Maritim yang dengan tegas menolak dan menghentikan proses pembangunan beberapa pulau tersebut, tapi Jokowi pantang mundur membela Ahok dan Rizal Ramli digusur dari Kabinet.

Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal ProDEM, Satyo. dari kondisi ini jelas sang Rajawali ngepret menjadi orang yang ter “Dzholimi” karena sang Presiden lagi-lagi membela Ahok, padahal dia bukan anggota Menteri utama sang Presiden.

“Rizal Ramli menjadi simbol perlawanan rakyat yang tertindas dalam melawan komprador pengeruk kekayaan Ibu Pertiwi,” ungkap Satyo. (sn)

Analisa Politik Oleh Mukidi
(Cuplikan opini dari kompasiana)

Jawaban teka teki kemana arah angin PDIP bergerak mulai terkuak,setelah lobi politik Zulkifli Hasan ke pihak Megawati, sudah mulai terbuka gambaran siapa yang dipilih PDIP untuk bertarung ke Pilkada DKI 2017.

Partai Amanah Nasional (PAN) adalah sekutu dekat PDIP, ada dua lobbyiist PAN untukPDIP, pertama adalah Zulkifli Hasan sendiri, sebagai Ketum PAN ia amat dekat dengan Bu Mega, lewat jalur Trenggono (yang dikalangan internal PDIP disebut "Mas Treng") dan lewat jalur Hanafi Rais, yang setelah bulan Maret 2016 mendekat pada kubu Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP).

Sebenarnya nama Risma sudah menjadi keputusan politik informal, hanya saja PDIP masih menunggu perkembangan keadaan.

Sementara kubu yang ganas memperjuangan Ahok ke dalam internal PDIP mulai melemah, mereka tidak dipercaya oleh kelompok DPD DKI yang sampai saat ini pengaruh Boy Sadikin amat terasa.

Kelompok Boy Sadikin sangat keras menentang Ahok, karena sejak awal Boy Sadikin merasa memegang data "persengkokolan Ahok dengan beberapa cukong soal reklamasi", lambat laun memang soal reklamasi ini akan jadi pertarungan tingkat tinggi kelas Istana bukan lagi kelas "Kantor Gubernur",

PDIP akan berhadap-hadapan dengan kelompok pro reklamasi, Jokowi menurunkan gacoannya untuk membela reklamasi : Luhut Binsar Panjaitan yang bersiap melawan PDIP soal Reklamasi,

Luhut dipasang Jokowi setelah berhasil menyingkirkan Rizal Ramli. Bagaimanapun reklamasi sebenarnya bukan pertarungan soal lingkungan hidup tapi "pertarungan logistik 2019".

Sementara di internal PDIP yang teriak teriak di media tetap dukung Ahok hanya Marurar Sirait, kepentingan Ara (panggilan akrab Maruara) adalah"menjaga suara di Sumatera Utara",

Secara politik Ara mengincar jabatan Gubernur di Sumatera Utara, bila Ahok gagal di DKI tak menutup kemungkinan Golkar akan memasang Ahok di Sumatera Utara. Bila ini terjadi "tamatlah ambisi Ara menjadi Gubernur Sumut",

Hubungan PDIP dan PAN Dalam Konstelasi Politik 2017 : "Hubungan Penentu"

Diantara seluruh persekutuan politik yang coba dibina PDIP dengan partai luar, Partai PAN-lah yang saat ini dipercaya punya niat tulus pada PDIP walaupun Amien Rais sangat 'sengit' soal Jokowi, tapi Amien Rais sudah menitipkan masa depan Hanafi Rais dibawah binaan PDIP.

Terbukti persekutuan-persekutuan politik PDIP-PAN di Yogyakarta sangat efektif, setelah menyadari kekurangannya saat melakukan eksekusi strategi di Pilkada Yogyakarta, Hanafi Rais dengan ketekunan politiknya berhasil menunjukkan kewibawaan politik di Yogyakarta, inilah yang mengundang perhatian Hasto, diantara seluruh total kemenangan PDIP pada 2015, Yogyakarta menjadi titik lemah Hasto dalam memenangi Pilkada serentak 2016.

Yogyakarta menjadi posisi yang unik dalam memperhatikan "Bangkrutnya Gerakan Independen", pada bulan Maret 2016, ketika Ahok mencoba "menipu publik" dengan Politik Gerakan Independen.

Kubu Ahok lewat konsultan politiknya yang menggerakkan kelompok CSIS, dimana yang jadi icon-nya adalah anak anak muda plonco CSIS, mereka disebut sebagai "Teman Ahok", anak-anak muda plonco inilah yang kemudian dijadikan "boneka politik" konsultan Ahok dan menjadi "Cek Ombak" dalam melihat kajian-kajian politiknya.

Namun ternyata setelah adanya indikasi"permainan para konsultan politik" dalam menggerakkan politik, rakyat rupanya tidak antusias terhadap gerakan independen, sesungguhnya gerakan independen ini yang mendapatkan momentum di Ahok, justru dirusak oleh"pemain-pemain industri politik',

Para konsultan bayaran. Ahok, sebagai pusaran gerakan politik tidak bekerjasama dengan aktivis-aktivis di luar Partai yang cenderung bersih, tapi didalangi oleh mereka yang memang secara profesional hidup dari "Konsultasi Politik" baik itu soal "survey bikinan sampai gerakan rekayasa dan buzzer sosial media". Kajian Politik Ahok yang dimotori Hasan Nasbi dan Sunny Tanuwidjaja ternyata gagal total.

Alam Psikologis Megawati

Ahok masih saja mengandalkan kedekatannya dengan Bu Mega, karena ia tahu Bu Mega amat bersimpati dengan ideologis yang ia perjuangkan di ruang publik, ketegasan Ahok soal Konstitusi 45, soal Kebhinekaan dan perlawanannya yang frontal terhadap diskriminasi suku dan agama dalam pola kepemimpinan di Jakarta, seperti kasus Lurah Susan telah mengundang simpati Bu Mega.

Dan sudah menjadi karakter Bu Mega, bila ia sudah percaya pada seseorang ia tak akan melepaskannya, dan Ahok dinilai tiada pernah seinci mengkhianati Bu Mega baik dalam pertemanan ataupun dalam politik.

Modal politik Ahok dengan Bu Mega ini sudah dibaca sejak lama oleh Ahok, namun ia paham tidak disukai oleh para fungsionaris PDIP DKI Jakarta.

Penggusuran di Pasar Ikan, tanpa sengaja Ahok secara brutal menggusur kelompok kelas menengah bawah, dan disana banyak pengurus ranting PDIP yang juga terkena akibatnya, padahal merekalah yang di tahun 2014, secara militan mendukung Jokowi-Ahok, dan mereka memegang perjanjian Jokowi soal politik tata ruang Pasar Ikan. Disinilah kemudian kebencian pada Ahok meluas hebat di akar bawah PDIP.

Rumah Lembang Dan Konstelasi Politik

Perlu diingat, membaca pertarungan Pilkada DKI 2017, jangan dilihat hanya sebatas pertarungan Gubernur DKI, tapi ini sebuah prolog Pemilu 2019. Novanto sebagai Ketum Golkar sudah menyadari lama sekali soal ini, bahkan ia sudah mempersiapkan strategi "Kuda Troya" agar ia menjadi "Wakil Presiden RI" pendamping Joko Widodo, pada masa Pemerintahan 2019-2024.

Ambisi Novanto bukan sebatas pada kemenangan politik di DKI Jakarta, tapi ia punya dua tujuan penting. Pertama : Membersihkan kelompok Jusuf Kalla dalam tubuh Partai Golkar,  Kedua : Melakukan Branding Politik Golkar, dimana keputusan Partai adalah melekat pada "popularitas".

Masuknya Novanto, sebagai "Hero bagi Ahok" juga mengundang kernyit dahi banyak kelas menengah, Novanto yang di tahun 2015 dihinakan secara luar biasa oleh kelas menengah kini malah ia menjadi "tokoh paling adem tapi populer" dimana kelas menengah terutama pendukung Ahok, Novanto sontak menjadi tokoh protagonis dalam dunia politik Indonesia.

Perubahan opini inilah yang kemudian mendorong Novanto lebih jauh lagi, pertama : ia tinggalkan dulu Ical lalu melangkah ke Luhut Binsar Panjaitan, kedua : ia secara tegas menggiring Partainya berada dalam garis Jokowi.

Jelas Novanto sudah satu langkah memenangkan politik logistik 2019 dari Partai manapun, inilah kecerdasan Novanto yang mampu membalikkan nasibnya hanya dalam tempo 6 bulan setelah Sudirman Said membully luar biasa Novanto lewat skenario rekaman yang dikenal publik sebagai "Papa Minta Saham".

PDIP Menuju Otensitas Politiknya

Pertaruhan PDIP di DKI Jakarta sebenarnya adalah "kebimbangan yang terlalu panjang", ungkapan Bu Mega bahwa "Tak Mungkin satu negara zonder Partai" mendapatkan kebenaran tesisnya hanya dalam tempo beberapa bulan setelah "penghinaan bulan maret 2016" Teman Ahok kepada PDIP saat mereka meminta Djarot keluar dari PDIP dan bergabung dengan gerakan artifisial independen.

Serangan brutal kepada Bu Mega, kepada PDIP sedemikian kejinya, PDIP dijadikan sasaran kenapa Indonesia mengalami kebangkrutan, Partai yang buruk jadi referensi PDIP, semua diarahkan ke PDIP, sementara sikap Ahok pada Golkar amat santunnya. Inilah yang kemudian menjadikan bahan dasar apakah memang ada skenario melabur PDIP sebagai "Partai Hitam" dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, sementara Golkar adalah "anak manis sejarah" ?.

Mengikuti irama gendang Ahok adalah sebuah blunder besar bagi PDIP, karena itu sama saja memberikan angin pada lawan lawan politik di masa depan, PDIP seharusnya mengetest mesin partai politik dalam Laboratorium Politik 2017, untuk mengambil dasar-dasar rumusan strategi pertarungan 2019.

Memilih Risma dan Djarot, sebagai petarung 2017, adalah "cek ombak" paling penting dalam melihat bagaimana perkembangan penguasaan kader terhadap operasi-operasi politik di lapangan ataupun di media. Karena bila mengikuti "Rumah Lembang" maka PDIP sama sekali tidak memiliki indikator politik.

Risma bisa dijadikan dasar arah politik baru di DKI Jakarta, dan menghindari pembelahan yang tajam. Walaupun pemilihan Risma masih dalam kerangka lubang hitam politik, tapi apabila Risma dipilih dan dimajukan sebagai pertarungan politik 2017, maka rakyat mendapatkan pilihan baru-nya yaitu : Gubernur yang memihak pada mereka yang digilas ibukota, kaum rakyat kecil dimana memang PDIP lahir dari jeritan rakyat kecil.

Dengan Risma di tahun 2017 di DKI, disinilah PDIP sesungguhnya menemukan otensitas politiknya....


*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda