Sejak awal kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Purnama alias Ahok muncul ke permukaan dan menjadi sorotan publik, satu-satunya strategi yang dilakukan negara adalah menunggu reaksi publik.
Anggota DPD RI, Fahira Idris, menduga, jika reaksi publik biasa-biasa saja atau hanya riak-riak kecil, maka pengusutan kasus ini bisa ditunda setelah pilkada.
Namun, nyatanya reaksi publik sangat luar biasa dan pemerintah gamang melihat bola salju desakan masyarakat dari seluruh Indonesia agar proses hukum Ahok dilakukan dengan cepat, tegas, dan transparan.
Kondisi ini, bagi Fahira, memperlihatkan baik Presiden dan para pembantunya terutama Polri tidak sensitif menganalisis situasi. Padahal, kasus ini berpotensi menjadi sebuah krisis sangat tinggi jika dianalisis secara akal sehat, baik tingkat keterdesakan dan tingkat keseriusan.
Seharusnya, Aksi Bela Islam jilid I yang berlangsung 14 Oktober lalu sudah menjadi sinyal bahwa isu dugaan penistaan agama ini akan meluas. Namun, paska aksi jilid I tersebut, publik melihat perkembangan kasus ini tidak ada greget-nya.
"Pra Aksi Damai 411 (4 November), pemerintah khawatir aksi ini akan disusupi dan akan ricuh, tetapi pemerintah tidak menutup celah-celah yang bisa dimanfaatkan oknum tertentu untuk membuat ricuh. Presiden harusnya bersedia menerima wakil peserta aksi.
Presiden harus bangga masih menjadi tumpuan rakyat untuk mengadu langsung. Ini bentuk penghormatan, tetapi malah tidak disambut," sesal Fahira.
Media sekuler baik cetak maupun online tidak memberitakan umat Islam yang berdemo menolak kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Ahad (4/9).
“saya setelah melakukan riset dan tidak menemukan berita demo kemarin mengenai penolakan umat Islam terhadap Ahok.
Kompas sama sekali tidak membuat berita satu pun mengenai peristiwa penting tersebut,” kata peneliti dari Universitas Leiden, Belanda Buni Yani di akun Facebook-nya.
Menurut Buni Yani, sangat mustahil redaksi Kompas tidak paham apa yang disebut sebagai “news values” dalam ilmu jurnalisme.
“Masa demo yang dihadiri oleh sekitar 10 ribu orang (versi Republika) dan seribu orang (versi Detik) tidak jadi berita ? Sudah pasti ini merupakan kebijakan redaksi untuk tidak memberitakannya,” jelas Buni Yani.
Buni Yani melakukan riset dengan mengunjungi akun Twitter Kompas dan memeriksa berita yang diposting dalam waktu 24 jam terakhir. Tidak ditemukan ada berita mengenai demo penolakan ini.
“Alih-alih membuat berita yang bisa merugikan Ahok, yaitu berita penolakan tersebut, Kompas justru memposting setidaknya dua berita yang menguntungkan Ahok.
Kata Buni, berita yang menguntungkan Ahok, pertama, mengenai mantan Bupati Belitung Timur itu yang mengalahkan pamor pengantin ketika dia menghadiri satu undangan perkawinan.
“Kedua, Ahok akan jadi saksi dalam persidangan korupsi Sanusi ” ungkap Buni Yani.
Buni Yani mengatakan, kebijakan pemberitaan Kompas sama dilakukan oleh Media Indonesia, koran lain yang juga mendukung Ahok.
“Tak ditemukan satu pun berita yang sama diposting di akun Twitter-nya dalam waktu 24 jam terakhir,” jelas Buni Yani.
Kata Buni Yani, Edward Said dalam buku “Culture and Imperialism” (1993) menggunakan teknik atau metode yang disebut sebagai “contrapuntal reading” dalam memahami teks yang ditelitinya.
“Metode ini mencari yang tidak dikatakan atau dihilangkan dalam teks untuk memahami isi pikiran pembuatnya. Jadi, kita bisa tahu isi pikiran Kompas, juga Media Indonesia, dalam merespon penolakan umat Islam terhadap Ahok. Suara mereka sengaja dihilangkan dengan tidak dijadikan berita,” pungkas Buni Yani. (SN)