Inilah cara melemahkan bangssa, tanpa letusan peluru tapi justru membuat jatuh cinta pada penjajah

Inilah cara melemahkan bangssa, tanpa letusan peluru tapi justru membuat jatuh cinta pada penjajah

Bagaimana menundukkan Indonesia? Ciptakan subversi nonmiliter. Buka pintu gerbangnya lewat amandemen UUD 1945, selaain itu ciptakan kondisi ketidakpastian hukum melalui simpang siur aturan


Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019 di depan mata. inilah tahun-tahun politik yang bakal menyedot energi bangsa. “Pesta demokrasi,” kata orang, kendati tak sedikit yang kurang sepakat dengan istilah itu, sebab dari perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris), model pemilihan langsung ini justru merupakan momentum ‘memecah belah bangsa’ secara nirmiliter.

Itulah praktik devide et impera yang dilekatkan melalui sistem (konstitusi) negara. Tapi, hampir segenap anak bangsa terbius. Larut. Sudah punya local wisdom (musyawarah mufakat) sendiri kok diabaikan?

Globalisasi dan modernisasi yang berciri kemajuan teknologi khususnya IT ternyata menciptakan social cleavage atau belahan sosial. Dan terlihat bahwa jurang keterbelahan sosial di Indonesia kian lebar dan tajam sejak digelarnya Pilkada dan Pilpres bermodel one man one vote.

Bahkan dalam praktik politik pun, adanya keberpihakan suatu institusi pemerintah dan/atau negara terhadap partai politik atau kandidat tertentu merupakan benih atas ketidaksolidan antar lembaga, saling curiga, merebaknya ego sektoral, dan lain-lain dimana ujungnya negara menjadi lemah.

Pointers diskusi terbatas di Group KENARI (Kepentingan Nasional RI), Kamis (25/01/2018), yang dimentori oleh Dirgo D Purbo, pakar geopolitik perminyakan, menyiratkan, bahwa kecil kemungkinan Indonesia akan diserang secara militer oleh negara manapun sebagaimana dulu militer koalisi Barat pimpinan AS pada era Bush Jr menyerbu Afghanistan dan Irak.

Ya. Indonesia adalah guru bagi Vietnam dan Korea Utara soal perang gerilya. Dunia sangat paham tentang itu. Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya contohnya, bukanlah propaganda atau mitos, betapa pemenang Perang Dunia ll pun dipukul mundur oleh ‘arek-arek Suroboyo’ padahal secara militer, apabila kalah peralatan, jumlah dan kalah canggih teknologi perangnya, identik dengan kalah perang. Agaknya teori tadi tidak berlaku di Indonesia. Simpan di lemari saja.

Jadi, bagaimana menundukkan Indonesia? Ciptakan subversi nonmiliter. Caranya? Selain pintu gerbangnya memang amandemen empat kali UUD 1945, juga berpola menciptakan kondisi ketidakpastian hukum melalui simpang siur aturan dan/atau UU.

Tercatat di LIPI, ada ratusan aturan saling bertabrakan, tumpang tindih, dan sebagainya dimana ujungnya adalah gamang, baik kegamangan politik, hukum, dan/atau kegamangan sosial, dan lain-lain kemudian agenda lanjut biasanya pihak asing akan menawarkan konsep-konsepnya sedang hal itu merupakan konsepsi terhadap pelemahan bangsa dan negara, tentu dengan dibarengi gelontoran dana menggiurkan. Isu-isu aktual yang kini marak  LGBT misalnya  adalah salah satu, ingat  hanya salah satu desain pelemahan negara oleh pihak asing.

Banyak contoh lain. Inilah yang kini berlangsung secara masiv, terstruktur serta sistematis di republik tercinta ini. Dan itulah perang asimetris (nirmiliter), modus senyap penjajahan gaya baru di muka bumi. Tanpa letusan peluru, negara target bisa ditaklukkan bahkan mampu membuat sebagian elemen bangsa yang dijajah justru jatuh cinta kepada penjajah, malah membela si penjajahnya secara militan, mati-matian.

Kembali ke Pilkada dan Pilpres tadi, pertanyaannya, “Adakah intervensi asing terhadap hajatan demokrasi kita?”. Ya, tentu. Di mata geopolitik para adidaya, Indonesia terlalu berharga jika dibiarkan jatuh pada sphere of influence negara lain yang tidak seirama. Tak senada. Mengapa demikian? Ada dua faktor.

Pertama, selain Indonesia itu dianggap sumber raw material, pasar nan besar, tempat putar ulang kapital (investasi), juga yang utama adalah letak geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menduduki sealanes of communication (SLOC) jalur vital pelayaran dunia serta memiliki 4 selat strategis dari 7 selat strategis yang ada di dunia.

Menurut Alfred Mahan, Indonesia memiliki bargaining power kuat berupa choke-points pengendalian atas lalu lintas laut yang melewati SLOC.

Kedua, kekhawatiran (phobia) Barat terhadap perkembangan Islam di muka bumi. Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Saat ini, Barat menilai Indonesia merupakan negara moderat.

Ada kepentingan untuk menjaga agar Indonesia tetap moderat sebagaimana anggapan mereka, dengan demikian, mutlak harus dilakukan serangan nirmiliter dan berbagai subversi konstitusi terhadap Indonesia supaya tetap pada keinginan serta skema (kolonialisme) mereka.

Jadi, jangan dikira bahwa dinamika Pilkada serantak 2018 dan Pilpres 2019 adalah faktor tunggal dan lokal yang berdiri menasional belaka, tetapi niscaya akan banyak intervensi dari para adidaya global agar kepentingan mereka berlanjut dan lestari di Bumi Pertiwi.

Semoga semua anak bangsa waspada!
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel