Gerindra: Jokowi Kelola Uang Negara Pakai Gaya Pedagang Mebel
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono mempertanyakan sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang mengatakan bahwa ekonomi bangsa ini masih dalam keadaan stabil meskipun realisasi defisit anggaran mencapai 2,62 persen dikritisi.
Lebih lanjut Ketua Umum Serikat Pekerja BUMN Bersatu ini menjelaskan bahwa di perusahaan-perusahaan, defisit anggaran sebenarnya masuk dalam chapter eleven alias ancaman bangkrut. Untuk itu, dia menduga bahwa keuangan negara dibawah pemerintahan Presiden RI Joko Widodo sudah diambang kolaps.
"Keuangan negara yang saat ini di kelola Joko Widodo itu sudah mendekati kebangkrutan. Apalagi hutang makin numpuk dan tidak kelihatan hasil dari hutang yang diera Joko Widodo dinikmati oleh rakyat. Yang ada rakyat makin sulit dalam memenuhi kebutuhan untuk ekonomi keluarganya khususnya masyarkat kelas bawah dan menengah," kata Arief kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (25/12).
Menghadapi ekonomi bangsa yang kian memprihatinkan tersebut, Arief malah merasa makin pesimis adanya perubahan yang siginifikan semasa pemerintah Jokowi berkuasa. Anak buah Prabowo Subianto itu juga mengatakan akan percuma jika nanti Jokowi mencopot SMI dari kabinet kerja.
"Kalau reshuffle, urusan Joko Widodo. Mau diganti sama Yanet Yellen Kepala The FED juga gak akan mampu (memperbaiki ekonomi bangsa) kalau presidennya cuma pakai gaya pedagang mebel dalam mengelola keuangan," demikian Arief. (san)
Sementara itu..
Direktur Eksekutif Centre for Budget Analisis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengkritik pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang mengatakan defisit anggaran sebesar 2,62 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menandakan bahwa ekonomi negara ini masih dalam situasi APBN yang cukup stabil.
Menurut SMI, defisit anggaran per 15 Desember itu masih jauh di bawah batasan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBNP sebesar 2,92 persen.
"Saya tidak setuju kalau ekonomi negara stabil dengan defisit 2,62 persen," katanya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL melalui pesan WhatsApp, Jumat (29/12).
Menurut Uchok, berdasarkan Undang-Undang APBNP, angka 2,62 persen memang masih terbilang jauh. Namun menurutnya SMI harus segera mengambil langkah antisipatif untuk menutup defisit anggaran itu.
"Untuk menutup defesit anggaran ini, solusi menteri keuangaan apa? Apa lagi yang mau 'digadaikan' Sri Mulyani sehingga bisa menutupi defesit sebesar Rp 352.7 Triliun?," ketusnya.
Langkah antisipatif itu menurut dia haruslah merupakan ide baru yang inovatif. Pasalnya, akan tidak mungkin dan sangat mustahil jika Menkeu hanya mengandalkan pemasukan negara dari sektor pajak di tengah daya beli masyarakat yang kian melemah.
"Kemungkinan Sri Mulyani, hanya bisa jual surat utang negara dengan bunga yang tinggi. Jadi tetap saja, solusinya untuk menutup defisit dengan cara cari utang baru. Tetapi, kalau tahun 2018, sumber utang baru tidak diperoleh, pajak tidak bisa digenjot, solusi hanya dua, yaitu jual aset atau pemangkasan anggaran kementerian dengan alasan efesiensi anggaran," tutup pengamat ekonomi ini.
Dan silahkan dilanjut bacanya kalo belum capek
Klik "Pidato Sri Mulyani Membuka Fakta Pertumbuhan PDB Era Jokowi Terendah"
Cuplikan berita...
Menarik, karena akhirnya Menteri Keuangan dalam pidatonya di Universitas Indonesia (UI), Depok, Sabtu (3/2) lalu, mulai menyinggung tentang pertumbuhan (growth) Pendapatan Domestik Bruto (PDB) perkapita Indonesia yang tertinggal dibanding negara-negara tetangga.
Hal itu disampaikan Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra kepada redaksi, Rabu (7/2).
"Pendekatan ini adalah yang terbaik dalam mengukur tingkat kemajuan perekonomian suatu negara dibanding bangsa lain, karena mengukur kenaikan pendapatan negara dibagi keseluruhan jumlah penduduknya," kata Gede.
Gede pun melakukan pembandingan growth PDB perkapita Indonesia, dalam mata uang Rupiah berdasarkan harga berlaku, dari berbagai masa Pemerintahan tahun 1999-2016.
"Saya memilih penggunaan mata uang Rupiah dalam mengukur growth PDB perkapita agar konsisten dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga menggunakan mata uang Rupiah dalam mengukur growth PDB setiap tahunnya," kata Gede.
Dapat dilihat pada tabel yang tercantum pada foto berita ini, growth PDB per kapita di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan yang tertinggi, mencapai rata-rata 22,6% pertahun.
Sementara era Megawati growth PDB perkapita turun cukup rendah menjadi rata-rata 10,09% pertahun. Era SBY growth PDB perkapita kembali naik cukup tinggi ke level 14,5% pertahun.
"Pada era Jokowi justru Indonesia mengalami growth PDB perkapita yang terendah, hanya 8,6% pertahun. Artinya menjadi tugas Menteri Keuangan juga yang menentukan target lebih tinggi, agar growth PDB perkapita Indonesia dapat melaju lebih cepat lagi," demikian Gede.
Menarik, karena akhirnya Menteri Keuangan dalam pidatonya di Universitas Indonesia (UI), Depok, Sabtu (3/2) lalu, mulai menyinggung tentang pertumbuhan (growth) Pendapatan Domestik Bruto (PDB) perkapita Indonesia yang tertinggal dibanding negara-negara tetangga.
Hal itu disampaikan Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra kepada redaksi, Rabu (7/2).
"Pendekatan ini adalah yang terbaik dalam mengukur tingkat kemajuan perekonomian suatu negara dibanding bangsa lain, karena mengukur kenaikan pendapatan negara dibagi keseluruhan jumlah penduduknya," kata Gede.
Gede pun melakukan pembandingan growth PDB perkapita Indonesia, dalam mata uang Rupiah berdasarkan harga berlaku, dari berbagai masa Pemerintahan tahun 1999-2016.
"Saya memilih penggunaan mata uang Rupiah dalam mengukur growth PDB perkapita agar konsisten dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga menggunakan mata uang Rupiah dalam mengukur growth PDB setiap tahunnya," kata Gede.
Dapat dilihat pada tabel yang tercantum pada foto berita ini, growth PDB per kapita di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan yang tertinggi, mencapai rata-rata 22,6% pertahun.
Sementara era Megawati growth PDB perkapita turun cukup rendah menjadi rata-rata 10,09% pertahun. Era SBY growth PDB perkapita kembali naik cukup tinggi ke level 14,5% pertahun.
"Pada era Jokowi justru Indonesia mengalami growth PDB perkapita yang terendah, hanya 8,6% pertahun. Artinya menjadi tugas Menteri Keuangan juga yang menentukan target lebih tinggi, agar growth PDB perkapita Indonesia dapat melaju lebih cepat lagi," demikian Gede.