Dalam kunjungan ke Paskitan pada Sabtu 27/1/2018, Jokowi sempat memasuki kokpit jet tempur produksi kerjasama Pakistan-China, JF-17 Thunder.
Pakistan yang sengaja memamerkan jet tempur generasi keempat itu jelas berharap Presiden Jokowi mau membeli sejumlah jet tempur JF-17 untuk memperkuat alutsista TNI AU.
Niat Pakistan memamerkan JF-17 kepada Presiden Jokowi memang tidak salah mengingat upaya Indonesia untuk membeli sejumlah Su-35 terancam batal terkait masalah teknis pembayaran.
Buyarnya Indonesia untuk membeli Su-35 juga terkait ancaman embargo persenjataan dari AS.
Pasalnya pemerintah AS telah menyatakan ketidak sukaannya terhadap Indonesia yang ingin sekali membeli Su-35 dari Rusia. Militer AS khawatir jika Su-35 sampai dimiliki Indonesia kekuatan udara Indonesia akan sulit ditandingi oleh Australia.
Ancaman embargo senjata dari AS itu memang bisa berakibat fatal.
Apalagi Indonesia baru saja menerima sebanyak 24 jet tempur F-16 C/D yang merupakan hibah dari AS. Embargo persenjataan dan suku cadang terhadap F-16 jelas akan memperpendek usia pakai ke 24 F-16 itu.
Sedangkan embargo dari sisi persenjataan akan membuat jet-jet tempur F-16 generasi keempat ini menjadi ‘’macan ompong’’ karena tidak bersenjata. Maka menjadi masuk akal jika Pakistan sangat berharap Indonesia mau membeli sejumlah JF-17.
Apalagi Pakistan telah berhasil mengekspor sejumlah JF-17 ke Myanmar. Sebagai pesawat yang bisa dioperasikan untuk pesawat tempur sekaligus pesawat latih. JF-17 tergolong jet tempur multi fungsi.
Dalam misi tempur JF-17 bisa melaksanakan misi pengintaian, misi penyergapan, dan serang darat, serta dilengkapi perangkat kokpit serba digital.
Sejumlah persenjataan yang bisa dipasang secara terintegrasi pada JF-17B merupakan rudal-rudal produksi China. Rudal itu antara lain rudal udara ke udara PL-5 dan SD-10 serta rudal jarak jauh antikapal perang C-802AK.
Sedangkan senjata lainnya seperti bom, roket, dan kanon merupakan produk industri militer Pakistan.
Militer Pakistan pernah merana saat mengalami embargo oleh Amerika Serikat di awal 1990-an, yang sebagain akibatnya langsung dirasakan armada F-16 A/B Fighting Falcon. Berangkat dari tekanan AS, menjadikan Pakistan bangkit menuju kemandirian industri alutsistanya.
Atas dukungan dari Cina, maka munculah sosok JF-17 Thunder, jenis pesawat tempur ringan single engine yang sempat dinaiki Jokowi dalam kunjungan kenegaraannya di Pakistan, Sabtu (27/1/2018) lalu.
JF-17 Thunder adalah produksi Pakistan Aeronautical Complex (PAC), yang tak lain merupakan varian lain dari FC-1 Xiaolong, produksi Chengdu Aircraft Industries Corporation (CAC). Oleh CAC, filosofi pesawat tempur ini dirancang sebagai low cost fighter dengan desain airframe semi monocoque yang simpel dengan biaya produksi murah, namun tak meninggalkan kapabilitas tempur maksimal dengan persenjataan canggih.
Bahkan untuk memaksimalkan jarak jangkau, Cina dan Pakistan telah menyiapkan air refueling probe untuk misi pengisian bahan bakar di udara.
Debut prototipe perdana JF-17 Thunder (PT-01) terbang perdana pada Agustus 2003, hingga modifikasi dilakukan beberapa kali sampai April 2006. Meski FC-1 justru tak digunakan dalam operasional AU Cina, debut JF-17 Thunder mampu membetot perhatian publik tatkala jet tempur ini ditampilkan dalam pameran dirgantara Farnborough 2010 di Inggris.
Dan sejak saat itu, baik Cina dan Pakistan secara terang-terangan menyatakan menawarkan pesawat tempur ini untuk negara-negara yang berminat. Beberapa pengamat aviasi menyebut kemampuan JF-17 jauh lebih baik dari F-5 E/F Tiger II.
Walau kiblat pengembangan JF-17 Thunder adalah Cina, namun jet tempur ini punya kandungan Rusia. Pasalnya mesin JF-17 Thunder menggunakan jenis turbofan Klimov RD-93. Mesin ini dikenal handal dalam penggunaan di berbagai kondisi, termasuk di lingkungan berdebu.
Namun mesin ini bukan tanpa kekurangan, disebut-sebut RD-93 terkenal rakus bahan bakar. Seperti halnya mesin-mesin jet lansiran Rusia, time between overhaul RD-93 terbilang pendek, yakni antara 500-600 jam, sementara service life RD-93 mencapai 1.800 jam.
Cina sebagai poros teknologi dirgantara tentu tak ingin berpangku tangan pada pasokan mesin dari Rusia. Wujudnya mesin dengan spesifikasi sejenis, yakni WS-13 telah dirilis Guizhou Aircraft Industry Corporation, namun time between overhaul WS-13 malah lebih singkat, hanya 300 jam dan kinerja WS-13 masih jauh di bawah RD-93.
Dan jadilah sampai saat ini JF-17 Thunder menggunakan mesin asal Rusia, dan menurut kabar Pemerintah Pakistan telah mendapatkan komitmen penuh dari Rusia untuk pasokan RD-93 bagi penjualan JF-17 Thunder.
Untuk sistem persenjataan, JF-17 Thunder ibarat mennggunakan dual operating sytsem, dimana JF-17 menggunakan interkoneksi standar NATO Mil-STD 1760 databus. Dengan digital interface yang disesuaikan oleh pabrikan, negara pengguna jet tempur ini dapat memasangkan jenis senjata asal Barat dan Timur, sepanjang user mampu membeli persenjataan yang dimaksud.
Dari sumber internet foto ilustrasi google image