Menjelang Pemilihan Presiden 2019 muncul berbagai pergerakan politik. Salah satunya adalah gerakan "asal bukan Jokowi".
Kelompok yang tidak respek terhadap Jokowi berupaya menggalang opini agar 2019 Indonesia memilih pemimpin baru.
Gerakan semacam ini, dalam realitas politik merupakan hal yang wajar saja terjadi. Terlepasa apa pun yang menjadi alasannya, apakah alasan ideologis, kecurigaan politis, atau sentiment tertentu, semuanya bisa menjadi sumbu untuk memicu isu Indonesia Perlu Pemimpin Baru.
Hingga saat ini muncul kesan bahwa kelompok terkesan tidak menyukai Presiden Jokowi tidak secara terbuka menyatakan mendukung Prabowo, lawan potensial Jokowi pada Pilpres 2019. Namun, tidak berarti bahwa kelompok itu tidak akan mendukung Prabowo pada Pilpres mendatang.
Isu duet Jokowi-Prabowo pada 2019 masih menjadi hitungan kelompok ini. Sebab, betapa pun kuatnya upaya mobilisasi opini, Jika Jokowi dan Prabowo bersanding maka duet ini dari sisi elektabilitas, mau tidak mau, harus diakui secara teoritis memiliki kekuatan tak tertandingi pada Pilpres 2019.
Jika duet Jokowi-Prabowo tak bisa dibendung, maka semua langkah dan penggalangan yang dilakukan kelompok “asal bukan Jokowi” menjadi bagai angin sepoi-sepoi belaka.
Kelompok “asal bukan Jokowi” akan seketika “bubar jalan” jika ternyata Prabowo mau jadi cawapresnya Jokowi.
Konsekuensinya jelas, secara praktis, Pilpres akan menjadi arena pemilihan calon tunggal. Sebab, siapa pun lawan alternatifnya, secara de fakto tak mampu menandingi Jokowi-Prabowo. Baik Jokowi, maupun Prabowo, memiliki elektabilitas yang tinggi.
Walau diberitakan Prabowo atau Gerindra tak ingin hanya menjadi nomor dua, realitas politik selalu dinamis dan bisa berubah bahkan di menit-menit akhir.
Jangan lupa, seperti dikatakan dalan teori dramaturgi, panggung depan tidak selalu sama dengan panggung belakang. Jadi jika berita di media, yang dirancang sebagai konsumsi public, bisa berbeda dengan versi lain yang merupakan konsumsi taktis dan strategis partai politi,
Kelompok “asal bukan Jokowi” tentu akan terus berupaya agar tujuan pragmatisnya tercapai.
Salah satunya dengan memunculkan tokoh alternative, walau pun elektabilitas kandas jika dibandingkan Jokowi-Prabowo.
Harus diakui bahwa hingga saat ini belum ada tokoh-tokoh alternatif yang dapat menyaingi Jokowi dan Prabowo.
Anies Baswedan, mungkin bisa diajukan. Namun, itu tidak akan berarti banyak jikaa harus menghadapi Jokowi-Prabowo. Jika mengajukan Jusuf Kalla, maka juga ada kendala yang harus dihadapi.
Kelompok penekan seperti alumni 212 bisa saja menjadi salah satu suara pendukung Prabowo, asal tidak berpasangan dengan Jokowi. Masalahnya, bagaimana Prabowo menyikapi realitas politik yang dihadapinya sehari-hari dan bagaimana ia menata rencana ke depan. Jika ia melihat 2019 sebagai batu loncatan menuju 2024, maka posisi Wakil Presiden bisa dijadikan pilihan.
Parpol Islam
Selain kelompok penekan macam Alumni 212, kelompok lain nyaris tak ada yang memperlihatkan sikap berseberangan secara terang-terangan atau tidak mendukung Jokowi untuk kembali menjadi Presiden periode kedua. Kelompok lain sikapnya nampak lebih cair.
Sementara jika dilihat peta parpol Islam, secara ringkat dapat dipetakan bahwa PKB dan PPP lebih dekat ke Jokowi.
Partai Bulan Bintang yang baru memenangkan sengketa Pemilu, walau menyatakan tidak akan bersama koalisi pendukung Jokowi, suaranya bisa dikatakan terlalu kecil.
PAN, yang secara tradisional didukung warga Muhammadiyah, bisa saja memiilih sikap pragmatis pada ujungnya. Meski Amien Rais lantang menyuarakan suara menentang Jokowi, tidak ada jaminan bahwa suara Amien akan serta merta didengar oleh PAN.
Tak bisa dipungkiri gerakan 212 adalah sebuah gerakan moral. Gerakan itu berhasil “menghadang” Ahok karena kasus penistaan Agama. Tapi, isu gerakan moral ini telah selesai dan berpuncak pada kasus Ahok.
Kalau tidak ada isu lain yang besar, gerakan ini tidak akan sesolid pada kasus Ahok. Jadi, kalau tidak ada isu “super hot” seperti pada kasus Ahok maka kondisinya tetap akan biasa-biasa saja. Terlebih, pragamatisme kini telah menggantikan ideologi partai politik.
* Fahlesa Munabari adalah pakar ilmu politik Pusat Kajian Komunikasi dan Keindonesiaan. Dekan FISIP Universitas Budiluhur, Jakarta. Artikel ini ditulis berdasarkan hasil wawancara, Jumat (9/3/2018).