Hiruk pikuk bocoran dari Romahurmuzy (Romy) soal Prabowo ingin menjadi cawapres Jokowi, pertemuan dan telfon-telfonan antara Luhut Panjaitan dengan Prabowo, pertemuan Wiranto dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan berbagai pernik politik lainnya mengkonfirmasi pada satu hal penting : Bagaimana membuat peta jalan yang mulus bagi Jokowi untuk kembali menjadi presiden.
Ini memang merupakan permainan dan adu strategi yang pelik, rumit, dan penuh kalkulasi politik. Ada strategi pukul, dan rangkul. Tarik, dan dorong. Sandera politik, ada juga gerakan tanpa bola. Namun secara sederhana kita dapat membaca, bahwa tim di belakang Jokowi membuat beberapa skenario.
Pertama, Jokowi menjadi calon tunggal. Kedua, Jokowi berhadapan dengan Prabowo. Ketiga, jangan sampai muncul poros ketiga. Keempat, menutup peluang munculnya calon alternatif dalam hal ini Gatot Nurmantyo, atau Anies Baswedan.
Skenario pertama calon tunggal, bisa terlaksana bila Prabowo bersedia menjadi cawapres Jokowi. Namun kalau toh Prabowo bersedia menjadi cawapres, bukan berarti skenario tersebut bisa berjalan mulus. Para mitra koalisi yang lebih dahulu menyatakan mendukung Jokowi, belum tentu bersedia mengalah dan memberikan tempat kepada Prabowo.
Mereka pasti menginginkan ketua umum, atau setidaknya kader yang diusungnya yang akan dipilih menjadi cawapres. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PPP Romy, atau Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar jelas sangat menginginkan posisi tersebut.
Muhaimin secara terbuka menyatakan keinginan tersebut disertai sedikit ancaman. Balihonya juga tersebar dimana-mana. Romy selain berbagai manuvernya, balihonya juga sudah terpasang di berbagai penjuru tanah air. Sementara Airlangga juga melakukan branding “salam empat jari” dan memasang iklan setengah halaman penuh di media. Sementara Nasdem, dan Hanura cukup tahu diri.
Bagaimana dengan PDIP? Sebagai “pemilik” sah Jokowi dan pemilik suara terbesar, PDIP pasti juga menginginkan kadernya menjadi cawapres. Pilihannya antara Sang Putri Mahkota Puan Maharani, atau Kepala BIN Budi Gunawan.
Skenario calon tunggal ini juga hanya bisa tewujud bila Demokrat bersedia bergabung dalam poros Jokowi.
Jadi kesimpulannya skenario calon tunggal ini walaupun “sangat ideal” bagi Jokowi, namun dari kalkulasi secara politik tidak mungkin, atau setidaknya sangat sulit diwujudkan.
Skenario kedua melawan Prabowo. Opsi ini paling logis diwujudkan, dan sejauh ini sudah mulai terwujud. Prabowo sudah menerima mandat pencapresan dari Gerindra. Dalam pertemuan dengan pimpinan PKS di kantor DPP PKS, Sabtu (21/4) tampaknya juga sudah terdapat kesepakatan Prabowo akan menggandeng cawapres dari PKS.
Setelah pertemuan, Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani dengan wajah berbinar menyatakan Prabowo “pasti” maju sebagai capres. “Soal tiket, saya bisa tegaskan 99.9% sudah tersedia,” tegasnya. Sementara Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyebutnya “sudah 95%.”
Skenario ketiga, terbentuknya poros ketiga hanya mungkin terwujud bila Demokrat, PKB, dan PAN sepakat, dan berani. Pertemuan Wiranto dengan SBY, merebaknya kembali kasus Bank Century, merupakan langkah antisipasi dari kubu Jokowi agar poros ketiga tidak terwujud. Kendati secara kalkulasi poros ini sulit terwujud, namun bagi kubu Jokowi tetap saja harus diantisipasi.
Skenario keempat, tampilnya figur alternatif ini hanya dapat terwujud bila Prabowo urung maju, atau poros ketiga terbentuk. Hal itu harus dicegah.
Dari berbagai skenario tersebut sangat terlihat bahwa Prabowo menjadi peran kunci. Dia bisa menjadi faktor yang sangat menentukan, apakah skenario tim pendukung Jokowi bisa terwujud atau tidak. Tanpa disadari Prabowo bisa menjadi “king maker” bagi Jokowi.
Jokowi belum aman
Mengapa Jokowi dan timnya harus melakukan berbagai manuver dan rekayasa politik tersebut? Jawabannya cukup jelas. Elektabilitas Jokowi tidak aman.
Jangan terlalu serius dan percaya begitu saja dengan berbagai publikasi survei yang menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi masih tinggi. Sebab sejumlah survei juga menunjukkan data sebaliknya.
Sejauh ini publikasi survei yang masih selalu mengunggulkan Jokowi bisa dilihat sebagai usaha meyakinkan Jokowi, menumbuhkan kepercayaan diri yang tinggi, dan mempengaruhi publik opini.
Bila elektabilitas Jokowi tinggi, dan tidak ada calon yang bisa menandinginya, Jokowi dan timnya tidak perlu lagi melakukan berbagai manuver. Cukup duduk manis. Mereka tidak perlu repot-repot merayu Prabowo menjadi cawapres, atau bila tidak berhasil, maka mendorong dan memastikan Prabowo maju sebagai capres seperti yang dilakukan Luhut.
Mereka juga tidak perlu bersusah payah melobi SBY, atau bahkan harus menyanderanya dengan kasus Bank Century seperti diduga oleh Waketum Gerindra Ferry Juliantono. Toh dengan dukungan Golkar, PDIP, PPP, Nasdem, Hanura, dan PKB tiket Jokowi sudah jauh lebih dari cukup.
Berbagai manuver kubu Jokowi bisa dilihat sebagai upaya menutup peluang terbentuknya poros ketiga, dan yang paling utama mencegah figur alternatif Gatot atau Anies mendapatkan tiket.
Benar bahwa Gatot dan Anies dari berbagai survei, elektabilitasnya masih sangat jauh dibandingkan Jokowi, bahkan Prabowo. Namun melihat mood publik yang sangat antusias menyambut gerakan #2019GantiPresiden, dan elektabilitas Prabowo yang stagnan dan cenderung menurun, hal itu mengkonfirmasi adanya keinginan publik akan munculnya figur baru. Bukan Jokowi, dan bukan juga Prabowo.
Prabowo adalah known devil. Secara politik dan finansial kekuatannya sudah bisa diukur. Sebaliknya Gatot dan Anies adalah unknown angel. Kekuatan sesungguhnya belum bisa diukur.
Gatot Nurmantyo kendati elektabilitasnya masih rendah, tapi trendnya terus naik. Rendahnya elektabilitas Gatot bisa dipahami karena sampai saat ini dia belum mendapat kepastian tiket. Jadi dapat dikatakan secara politik, dia belum bekerja. Mesin politiknya belum bergerak penuh.
Banyak simpul-simpul masyarakat dan keumatan yang menggadang-gadang Gatot. Dalam tubuh Gerindra dan PKS juga ada faksi yang mendukung Gatot dan menginginkannya sebagai capres.
Kelemahan Gatot adalah isu kedekatannya dengan taipan Tommy Winata yang juga diakuinya dalam sebuah wawancara dengan Tempo.
Sebagai kandidat potensial, operasi memotong Gatot sudah mulai berjalan. Kelemahannya karena.dekat dengan taipan Tommy Winata sudah mulai diekspose.
Isu ini sangat sensitif bagi umat, dan dipastikan akan dieksploitasi oleh para lawan-lawan politiknya.
Banyak foto dan meme yang beredar di medsos.
Bagaimana dengan Anies Baswedan? Elektabiltasnya juga masih sangat rendah, hal itu disebabkan karena tidak ada kepastian apakah dia akan maju atau tidak. Namun dengan posisinya sebagai Gubernur DKI, Anies merupakan figur yang dari sisi pemunculan di media (media appearance), dan pencitraan bisa menandingi Jokowi.
Di Pilkada DKI Anies yang berpasangan dengan Sandi bisa membuktikan bahwa dengan dukungan umat, elektabiltas yang rendah bisa didongkrak dalam waktu yang pendek. Lembaga survei banyak yang salah memprediksi Anies-Sandi.
Peluang Anies untuk memperoleh tiket dari Gerindra dan PKS juga cukup besar. Anies bagaimanapun menjadi Gubernur DKI karena dukungan kedua partai tersebut. Dengan begitu Anies bagi Gerindra dan PKS bisa disebut “orang dalam.” Untuk kembali membangun kerjasama, tentu tidak sulit.
Semuanya kini tampaknya sangat bergantung pada kepastian jadi atau tidaknya Prabowo maju sebagai capres. Pasca penerimaan mandat, dan adanya kepastian dukungan dari PKS, maka Prabowo akan bekerja keras mendongkrak elektabilitasnya.
Mampukah dia mengkonversi semangat #2019GantiPresiden menjadi dukungan yang massif kepadanya?
Bila elektabilitas Prabowo terus naik, dapat dipastikan dia akan percaya diri untuk maju menantang Jokowi. Sebaliknya bila tetap stagnan, bahkan cenderung turun, saat itulah waktunya untuk melakukan evaluasi. Gatot dan Anies menjadi pilihan dan alternatif yang menarik.
Oleh : Hersubeno Arief