Untuk bertarung dalam pemilihan langsung kepala daerah atau pemilu kada, seorang kandidat kepala daerah minimal harus mengeluarkan biaya minimal Rp 60 miliar. "Ongkos" ini membengkak jika sang kandidat harus mengurus biaya perkara terkait sengketa pemilu di Mahkmah Konstitusi.
Coba bayangkan...
Andai terpilih menjadi gubernur dan harus mengganti dana yang dikeluarkan selama pilkada sampai terpilih, sebesar Rp 60 miliar, dari mana uang itu harus diambil ? Minimal Rp 1 miliar sebulan ? Gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta plus uang operasional besarnya bervariasi tergantung dari daerahnya (Poskota News)
Tanggal 27 Juni 2018 menjadi satu hari yang bersejarah bagi sebagian daerah di Indonesia. Pasalnya pada tanggal ini diselenggarakan pemilihan kepala daerah yang akan digelar di 171 daerah yang ada di Indonesia. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018.
Jauh sebelum gelaran pesta demokrasi banyak kepala daerah maupun calon kepala daerah yang terlibat kasus korupsi bahkan terjaring OTT oleh KPK. Namun anehnya mereka masih dapat bertarung meskipun tersangkut kasus dan mendekam dalam jeruji besi.
Biaya Politik Yang Mahal
Sebagaimana yang kita ketahui, biaya penyelenggaraan pesta demokrasi memakan dana yang tidak sedikit. Dengan kata lain untuk menjadi calon kepala daerah berarti harus berdompet tebal. Apakah itu berasal dari dana pribadinya atau pihak yang mensposorinya baik dari partai koalisinya ataupun dari pengusaha (pemilik modal).
Hal itu membawa efek berkelanjutan bagi para pemimpin dan orang-orang yang duduk dalam lembaga legislasi hasil pesta demokrasi. Para pemimpin yang terpilih tentu telah menghabiskan banyak modal untuk kampanye dan sebagainya.
Agar semua biaya itu tertutupi, mereka akhirnya bekerja sama dengan para pemilik modal. Maka jangan heran berbagai perundang-undangan yang pro kapitalis (pemilik modal), misalnya kenaikan BBM dan TDL secara berkala dengan alasan mengikuti skema pasar Internasional.
Suap menyuap di lembaga parlemen menjadi hal lumrah dalam sistem demokrasi. Inilah bentuk persekongkolan jahat antara elit politik dan pemilik modal. Elit politik membutuhkan modal dan pemilik modal membutuhkan elit politik .
Oleh karena itu, lahirnya kebijakan yang pro pemilik modal (kapitalis) adalah sebuah kepastian dalam sistem demokrasi (UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kelistrikan,UU Sumber Daya Air dll).
Sementara rakyat kebanyakan hanya gigit jari dan menjadi tumbal atas kecurangan para elit politik dan pemilik modal, bukannya rakyat disejahterakan dengan janji-janji saat kampanye malah sengsara dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat.
Berikut beberapa bukti mahalnya biaya demokrasi. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, "Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari". (kompas).
Maka tak heran banyak kepala daerah ataupun anggota legislatif terlibat kasus korupsi dan kasus suap-menyuap. Karena setelah mengeluarkan dana yang fantastis untuk menjabat menjadi pejabat daerah ataupun pejabat negara maka ada upaya untuk balik modal bahkan dengan menggunakan cara-cara kotor sekalipun.