Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat kembali melemah, Rp 14.105 per dollar AS. Kondisi ini diprediksi meicu krisis besar yang akan dihadapi Indonesia. Disisi lain, jika nilai tukar rupiah mencapai Rp 15 .000 per dollar AS dan utang mencapai Rp 6.000 triliun, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus waspada.
Bisakah Jokowi dan JK bertahan sampai 2019? Pertanyaan inilah yang kerap kita dengar di ranah publik. Namun bagi peneliti kebijakan publik dari Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie, ambruknya rupiah dan utang yang terus bertambah menjadi peringatan bagi pemerintahan Jokowi untuk waspada.
“Pemerintahan Jokowi harus waspada. Nilai tukar rupiah terus merosot terhadap dolar akan berpengaruh pada president election 2019. Ini perlu diwaspadai, pasalnya Soeharto jatuh lantaran ekonomi tak stabil kala itu," kata Jerry kepada Harian Terbit, Senin (25/6/2018).
Menurutnya, jika pemerintahan Jokowi ingin tetap bertahan hingga 2019 maka sektor ekonomi diperkuat dengan public and goverment policy.
"Pemerintah juga harus tahu forecast market ramalan pasar dan juga dengan cara mulai membangun industri-industri substitusi impor, perkuat trading dan industry, selling power and buying power domestik bahkan internasional juga perlu diperhatikan," paparnya.
Sementara itu pengamat politik Indro S Tjahyono mengemukakan, kondisi ekonomi yang tidak membaik dan tingginya utang , kalau dikaitkan dengan jatuhnya pemerintah, tentu masih jauh.
“Indonesia tidak menganut sistem (kabinet) parlementer yang bisa dengan mudah mengganti pemerintah (perdana menteri) setiap kali dinilai gagal. Kecuali itu rezim kapitalisme global juga tidak membiarkan ekonomi regional kolaps, karena akan berpengaruh pada sistem ekonomi keseluruhan. Bahkan Yunani yang ekonominya pernah kolaps, kemudian buru-buru dibenahi secara kroyokan,” ujar Indro dihubungi terpisah.
Dia mengatakan, persoalannya berbeda dengan masa terakhir kejatuhan Soeharto. Waktu itu legitimasi Suharto sudah sangat merosot. Kalau dibiarkan, Indonesia yang dipandang sebagai ladang eksploitasi sumberdaya alam, akan kehilanngan oportunitas investasi. Apalagi saat-saat terakhir Soeharto sudah menunjukkan indikasi anti pasar, anti investasi, dan anti Barat.
Karenanya, lanjut Indro, ada upaya yang disengaja untuk menggoyang kurs rupiah terhadap dolar (sampai 17 ribu per dolar AS). Hal itu disusul dengan rush dana yang tersimpan di berbagai bank. Dan yang penting kurs dolar berdampak langsung terhadap sektor riel, sehingga barang-barang menjadi langka di pasaran.
Menurut Indro, persepsi dunia usaha terhadap Jokowi masih positif, walau banyak terjadi hambatan di birokrasi. Pembangunan (infrastruktur) masih dianggap ekspektatif. Jika terjadi krisis masih mudah diatasi melalui komitmen-komitmen baru. Elektabilitas dan popularitas Jokowi cukup tinggi.
“Koalisi pendukung pemerintahan Jokowi masih mantab dan terkonsolidasi. Sedangkan partai-partai anti pemerintah belum punya basis pendukung yang solid. Kesan kondisi ekonomi yang buruk kebanyakan hanya ada di lingkungan elit seperti terekspos di media sosial. Apalagi pihak yang selama ini kritis terhadap pemerintah sedikit demi sedikit semakin memahami kondisi yang sebenarnya,” ujar Indro.
Bisa Jatuh
Sebelumnya, Wakil Ketua DPP Gerindra Ferry Juliantono menyatakan tidak ada pemerintahan yang kuat kalau nilai tukar rupiah terhadap dolar tembus Rp 15 Ribu. Hal ini disampaikan Ferry menanggapi nilai tukar rupiah yang semakin hari kian memburuk.
"Sekarang kan Rp 14.200/U$, sedikit lagi tembus Rp14.500 kalau sudah Rp 15 ribu tidak ada (pemerintah) yang kuat," ungkap Ferry di hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa, (22/5/2018).
Ia mencontohkan, hal serupa yang pernah terjadi pada tahun 1998, di mana saat itu Presiden Soeharto yang sangat kuat, akhirnya tumbang setelah dolar membumbung tinggi.
Dia memprediksi, partai-partai pendukung pemerintah akan berfikir ulang jika dolar terus naik. "Tembus Rp15 ribu jatuh itu pemerintah (Jokowi)," Ferry mengingatkan.
Sebab, kata dia, dampak inflasi dari itu akan dirasakan langsung oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia mengaku sudah bertemu dengan para pedagang yang juga mengeluhkan inflasi ini. "Jadi, kalau ada yang bilang puas dengan pemerintah sekarang, itu hanya persepsi saja," pungkasnya.
Krisis Besar
Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menungkapkan potensi krisis besar yang akan dihadapi Indonesia menyusul nilai kurs rupiah yang sudah mencapai Rp14ribu per US Dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2015.
Menurut dia, jika krisis tahun 1997 yang melanda Indonesia disebabkan oleh faktor moneter, sementara krisis tahun 2008 pemicunya adalah perdagangan, maka krisis yang akan terjadi di tahun 2018 lebih berbahaya.
"Karena krisis yang akan dihadapi di 2018 ini pemicunya sekaligus dua. Ada moneter dan perdagangan," kata Noorsy kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/5).
Noorsy sudah memprediksi jika perekonomian Indonesia akan mengalami stagnasi sejak tiga tahun lalu. Seharusnya dengan kondisi yang makin parah seperti saat ini, pemerintah harus mulai lepas dari investasi dan tenaga kerja asing. (hr)