Tarif dasar listrik (TDL) diprediksi akan kembali naik dalam waktu dekat menyusul pelemahan rupiah yang kian mengkhawatirkan.
Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menyebut setidaknya ada tiga indikator yang dijadikan dasar oleh PLN dalam menentukan tarif.
"Pertama karena harga energi primer seperti batubara, gas dan minyak ditetapkan melalui HBA (harga batubara acuan) tinggi," katanya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (5/9).
Menurut dia, listrik Indonesia jelas sudah mengalami over supply atau kelebihan pasokan sejak tahun 2014 lalu. Tapi pemerintah tetap saja memaksakan diri dengan membangun proyek 35 ribu megawatt demi menggenjot pengeluaran proyek dan memburu utang.
"Akibatnya benar-benar terjadi kelebihan pasokan listrik yang berlipat ganda. PLN pun kesulitan menjual listrik, masyarakat diserukan untuk menambah konsumsi listrik, bukannya berhemat di saat krisis, diminta tambah daya, tambah penggunaan AC dan lain-lain," kritiknya.
Padahal di satu sisi, lanjut dia, laporan kondisi keuangan Indonesia dari seluruh lembaga survei terkemuka menyatakan bahwa daya beli masyarakat tengah menurun.
"Anomalinya inflasi tinggi. Tidak ada satupun teori ekonomi yang masuk akal untuk membenarkan keadaan Indonesia. daya beli turun tapi inflasi tinggi kan aneh. Mestinya daya beli turun ya inflasi rendah karena daya beli tidak ada," ujarnya.
Rupanya, anomali tersebut menurut dia terjadi karena listrik. Harga listrik terpaksa harus digeret naik karena pemerintah menetapkan HBA terlalu tinggi hingga lebih dari 100 dolar/ ton. Padahal harga batubara ini menjadi acuan pembelian energi primer PLN.
"Otomatis harga listrik naik. HBA tinggi menjadi dasar dalam harga pembelian PLN pada listrik swasta," imbuhnya.
Penetapan HBA yang tinggi oleh pemerintah itu menurut dia agar pemerintah bisa menyerap pajak tinggi sekaligus memperkaya pedagang batubara dan penjual listrik swasta.
"Ini ekonomi jebakan batman yang berujung makan buntut sendiri. Satu satunya yang bisa membuat PLN bisa bertahan tidak segera ambruk adalah masyarakat harus mau membayar listrik mahal dan mengkonsumsi listrik sebanyak-banyaknya. Kalau tidak maka PLN akan segera bangkrut karena tidak bisa bayar utang proyek 35 ribu megawatt," katanya.
Indikasi kedua kata dia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kian melemah. Harga listrik terpaksa harus dinaikkan untuk menutupi aksi pemerintah yang melakukan pembelian energi primer dan membayar utang luar negeri dengan menggunakan dolar.
"Indikator ketiga inflasi. Dolar meloncat sudah pasti akan inflasi terutama pangan. Mengingat sebagian besar pangan yang diimpor dibayar dengan dolar," terangnya. (wid)