Inilah indikator kondisi Ekonomi sekarang lebih parah dibanding 1998

Inilah indikator kondisi Ekonomi sekarang lebih parah dibanding 1998

Pada tahun 1998 tercatat defisit transaksi berjalan sebesar USD 4,89 miliar dan nilai tersebut lebih kecil dari defisit transaksi berjalan tahun 2018, yang mencapai USD 8 miliar


Pengamat sebut kondisi sekarang lebih parah dibanding 1998, ini indikatornya

Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Padang, Profesor Elfindri menyebut bahwa ekonomi sekarang mengalami kondisi yang serius, dengan indikator utama antara lain transaksi berjalan (current account) menunjukkan bahwa kondisi tahun 1998 masih lebih baik dari tahun 2018.

"Pada tahun 1998 tercatat defisit transaksi berjalan sebesar USD 4,89 miliar dan nilai tersebut lebih kecil dari defisit transaksi berjalan tahun 2018, yang mencapai USD 8 miliar ," kata Elfindri seperti dikutip dari Antara, Sabtu (8/9).

Menurut dia, secara persentase terhadap Gross Domestic Product (GDP), defisit transaksi berjalan tahun 1998 tercatat sebesar 2,2 persen dari GDP, juga lebih kecil dari tahun 2018 yang tercatat sebesar 3,04 persen dari GDP.

Di indikator berikutnya yaitu neraca perdagangan, malah dapat dilihat bahwa ternyata tahun 1998 terjadi surplus sebesar USD 410 juta atau berbanding terbalik dari tahun 2018 yang neraca perdagangan (kumulatif Januari-Juli 2018) mencatat defisit sebesar USD 3,02 miliar.

"Beberapa indikator, seperti rasio cadangan devisa dan inflasi, pada tahun 1998 memang lebih buruk dari 2018. Tercatat cadangan devisa tahun 1998 hanya sebesar2,9 bulan impor, lebih buruk dari cadangan devisa tahun 2018 yang mencapai 6,9 bulan impor. Inflasi tahun 1998 sebesar 6,2 persen juga lebih tinggi dari tahun 2018 yang hanya sebesar 3,2 persen," katanya.

Sementara, indikator-indikator lainnya nyaris setara yakni Debt service ratio (DSR) tahun 1998 sebesar 30 persen, hanya sedikit lebih tinggi dari tahun 2018 yang tercatat sebesar 26,2 persen.

Untuk rasio investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) terhadap GDP pada tahun 1998 tercatat sebesar 1,48 persen sementara tahun 2018 tercatat sebesar 1,5 persen. "Dan yang terakhir, peringkat surat utang (bond) dari lembaga internasional semacam Standard & Poor's pada tahun 1998 dan 2018 ternyata sama-sama BBB," katanya.

Oleh karena itu untuk menahan penurunan nilai tukar Rupaih tersebut pemerintah perlu melakukan gerakan kemandirian, untuk memastikan dalam enam bulan ke depan tersedia pangan dan keperluan pokok lainnya.

Selain itu, katanya, pemerintah perlu menunda proyek-proyek yang memerlukan kebutuhan impor, berikutnya upayakan untuk menggarap secara mikro peningkatan ekspor yang bahan-bahannya sudah jadi, lakukan penghematan dan 'consumption thrift' terhadap produk impor.

"Presiden Jokowi harus mempelajari kesalahan menteri perdagangan tentang impor-impor yang sudah dilakukan, agar bisa menahan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu," katanya. (Idris Rusadi Putra)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel