Sebanyak 12.680 pekerja di Indonesia telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari hingga Februari 2016, ungkap Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Pada dua bulan pertama 2016, sebanyak 3.668 orang karyawan Toshiba, Panasonic, PT Samoin dan Mitsubishi Krama Yudha telah di-PHK dan menerima pesangon.
Sementara, sebanyak 8.300 orang pekerja dari PT Jaba Garmindo, Panasonic di Pasuruan dan Philips di Sidoarjo, Jawa Timur, telah menjalani proses PHK sejak tahun lalu tetapi baru dilaporkan pada tahun ini.
Adapun 712 orang karyawan Sunstar, Daihatsu Motor Company dan Osung, menurut KSPI, telah di-PHK secara sepihak.
Rangkaian PHK yang menimpa ribuan orang tersebut berlangsung di tengah pertumbuhan ekonomi yang menurun, walau pemerintah mencoba mendongkraknya melalui sejumlah paket kebijakan ekonomi.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menyebut PHK pada dua bulan pertama 2016, sebagian besar karena “perusahaan atau pabrik yang ditutup” dan “efisiensi karyawan”.
“Yang terjadi ini masif, pemerintah tidak boleh menyangkal,” ungkap Said Iqbal kepada BBC Indonesia, Selasa (16/02).
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim “tidak khawatir” dengan jumlah pengangguran yang saat ini terjadi.
“PHK kan terjadi di perusahaan besar yang bisa dihitung dengan jari. Sementara pemerintah saat ini sedang menggiatkan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga bisa ditampung di sana,” ungkap Kepala BPS Suryamin, Senin (15/02).
Suryamin menegaskan UMKM yang jumlahnya mencapai 3,5 juta usaha dan tumbuh 5,79% pertahun, sedang “digarap” pemerintah untuk bisa menampung lebih banyak pekerja, dengan cara mempermudah izin dan pengembangan usaha.
“BPS harus hati-hati”
Terkait pernyataan BPS, KSPI meminta lembaga pemerintah non-departemen tersebut untuk “berhati-hati”. Menurutnya, jika tidak serius menanggapi PHK dari perusahaan multinasional, bisa berdampak buruk pada ekonomi Indonesia.
“Mereka (perusahaan multinasional) kan modalnya besar. Konsekuensi PHK, maka dana investasi mereka ditarik keluar Indonesia. Pasti produk domestik bruto (PDB) kita turun. Alhasil, pertumbuhan ekonomi semakin melambat,” tegas Said Iqbal.
Lebih jauh lagi, Said melihat bahwa penyerapan tenaga kerja yang di-PHK perusahaan multinasional ke UMKM, bukanlah solusi, karena tidak ada jaminan UMKM mampu bertahan.
“Akibat dari perlambatan ekonomi adalah turunnya daya beli masyarakat. Akibatnya, siapa pula yang akan beli produk-produk di UMKM. Jadinya yang diserap di UMKM itu semu. Ini paradoks.”
Rafki Hidayat
Wartawan BBC Indonesia