Melihat cara kerja penulis berita atau wartawan profesional

Melihat cara kerja penulis berita atau wartawan profesional

Kadang orang hanya melihat dengan sebelah mata saat membaca sebuah berita, jika berita tersebut di tulis pada sebuah blog dengan domain gratisan (blogspot, wordpress dsbnya)


Kadang orang hanya melihat dengan sebelah mata saat membaca sebuah berita, jika berita tersebut di tulis pada sebuah blog dengan domain gratisan (blogspot, wordpress dsbnya), Orang akan teriak dengan nada sinis, "halah sumbernya abal-abal" tak layak dipercaya. Benarkah demikian ?

Karena menulis itu bukan hanya milik wartaawan, maka kalimat sumber abal-abal kurang tepat (blogspot, wordpress dsbnya), jadi kita harus menggunakan logika dalam menerima atau membaca berita, tak jarang berita yang datang dari sumber media mainstream, justru isinya propaganda untuk menyudutkan pihak tertentu.

Tak sedikit media mainstream berisi opini peyesatan untuk mengubah pola pikir pembacanya agar mengikuti apa kemauan dan tujuan dari penulisan berita yang dibagikan. (terutama berita ekonomi politik).

Banyak berita dari blog gratisan yang memiliki rating atau pembaca banyak dan tak kalah dengan media mainstream, misalnya piyunganonline, posmetro, acehcyber dsbnya. Pada contoh blog berita ini, mereka hanya mengeluarkan uang tak lebih dari 120 ribu rupiah untuk tahun pertama dan akan turun harga sewanya di tahun berikutnya, kita bisa memilih semisal .com, .net, info, .org bahkan untuk web.id lebih murah lagi.

Blog mereka tetap dikategorikan sebagai blog gratisan karena menggunakan server milik gooogle blogspot atau milik wordpress yang dibagikan secara gratis.

Memang untuk situs berita online besar, seperti kompas, tempo, detik dsbnya, mereka tak mengunakan server gartis tapi menyewa server berbayar yang disebut dedicated server, yang tentu biayanya lebih mahal, karena tidak sekedar menyewa nama domain. Ada dua jenis server yang disewakan Dedicated dan Shared untuk menyimpan postingan.

Kredibilitas sumber berita.
Kredibilitas sumber berita bukan segalanya. Lebih penting dari kredibilitas adalah akurasi dan verifikasi. Orang yang memiliki atau dianggap punya kredibilitas, belum tentu memiliki informasi atau data akurat. Sebaliknya orang yang dianggap tidak memiliki kredibilitas, informasinya bisa saja memiliki akurasi tinggi. Faktor orang dalam hal ini, lebih penting dibanding informasi yang disampaikan.

Sumber berita dan penulis berita adalah dua hal yang saling membutuhkan. Keduanya seperti ruh dan jasad yang saling melengkapi. Ruh tanpa jasad adalah hantu dan jasad tanpa ruh adalah mayat. Sumber berita tanpa penulis niscaya tak bisa menyampaikan pesan kepada publik, sebaliknya penulis tanpa sumber berita juga tidak akan menghasilkan berita.

Wartawan mungkin saja bisa menulis hanya berdasarkan asumsi atau pendapat. Namun tanpa sumber, apapun yang ditulis oleh wartawan hanya akan berwujud opini atau karangan pribadi. Sebagai salah satu ruh jurnalistik, selain wawancara, sumber berita merupakan kemutlakan yang tidak bisa ditawar yang harus ada dalam setiap liputan.

Tak semua orang bisa menjadi sumber berita. Sebagai ruh yang akan menentukan hasil kerja seorang wartawan, sumber berita mestinya ditentukan dan dipilih oleh wartawan ketika akan memulai sebuah liputan.

Pemilihan dan penentuan sumber berita terutama untuk menghasilkan liputan yang memang berpihak kepada kebenaran, salah satu ukuran yang menentukan baik buruknya produk jurnalistik.

Sumber berita yang sembarangan hanya akan menghasilkan liputan yang juga serampangan. Dalam beberapa kasus, sumber berita bahkan bisa mendiktekan kepentingannya kepada wartawan.

Namun sebagai pemberi informasi, siapa saja dapat dijadikan sumber awal dimulainya liputan. Secara sederhana sumber berita bisa diurai menjadi dua bagian besar. Pertama adalah pemberi atau pemasok informasi dan kedua adalah sumber yang akan menjadi subyek dalam liputan (pelaku, saksi, korban dan sebagainya).

Jika pemberi informasi awal juga terlibat dalam persoalan, ia bisa dimasukkan sebagai sumber liputan. Jika tidak, informasi awal dari pemasok, lazim digunakan hanya sebagai dasar dimulainya peliputan dan bukan titik akhir. Dalam teori David Protess, seorang profesor jurnalistik dari Universitas Nortwestern, informasi awal hanyalah lingkaran paling luar dari sekian lingkaran sebelum mencapai titik pusat persoalan.

Karena sifat liputan investigasi mengungkap skandal atau ketidakberesan yang merugikan kepentingan publik, maka cara paling sederhana mendapatkan sumber pemasok informasi awal adalah dengan mengakses hubungan dengan sumber yang posisinya berada sebagai berseberangan dari pihak-pihak yang akan diberitakan.

Mereka biasanya lebih punya banyak motif agar informasinya sampai ke puplik melalui wartawan. Wujudnya bisa siapa saja; lawan politik, para korban, LSM, pengamat dan sebagainya.

Tentang bagaimana cara mengakses hubungan dengan pihak lawan, tergantung dari kepekaan wartawan mengendus dan memetakan isu yang diperoleh atau didengar. Informasi awal tentang kecurangan pembuatan RUU Pemerintahan di Aceh, umpamanya, bisa didapat dari mereka yang aspirasi atau kepentingan politiknya tidak ditampung dalam RUU tersebut.

Isu tentang penyimpangan penyaluran dana bantuan untuk para korban bencana tsunmain di Aceh, bisa diperoleh dari pihak-pihak yang secara politik dan ekonomi dirugikan atau tidak kebagian dana tersebut.

Satu hal yang paling jelas, informasi dari sumber-sumber awal biasanya bisa dijaring lewat banyak bergaul dengan berbagai kalangan. Pergaulan yang luas akan menghasilkan kedekatan dan meningkatkan daya lobi wartawan.

Tidak jarang informasi awal bisa pula diperoleh karena diberikan dengan sukarela, tanpa diminta. Surat kaleng, telepon gelap, dokumen yang dikirim ke redaksi adalah beberapa contoh dari informasi awal yang didapat secara sukarela.

Dari sifatnya, sedikit sekali dari pemasok informasi yang tidak punya kepentingan. Motivasi mereka bisa bermacam-macam. Dendam, sakit hati, ingin menjatuhkan, dan sebagainya.

Semua kepentingan pemasok informasi awal, harus tidak diabaikan. Wartawan yang kemudian hanyut oleh kepentingan pemasok informasi, akan menghasilkan berita yang bias dan tidak akan mendudukkan perkara yang sebenarnya.

Kepentingan publik yang lebih besar juga akan terbengkalai dan pada gilirannya kredibilitas wartawan dan medianya akan dipertaruhkan. Perlakukanlah informasi dari pemasok awal, hanya sebagai background (baca tentang background di Tentang Wawancara pada halaman Jurnalistik).

Bagaimana dengan mencuri informasi ? 
Isu ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan wartawan. Arus besar jurnalistik liberal menganggap mencuri informasi sebagai tindakan yang bisa dibenarkan atas nama kepentingan publik.

Sebagian yang lain, menganggap tidak bisa dibenarkan, terutama karena pekerjaan wartawan adalah pekerjaan profesional yang bermartabat dan memiliki etika.

Jika atas nama kepentingan publik atau apapun, wartawan lantas mencuri informasi untuk diberitakan maka ia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pelaku penyimpangan yang akan diberitakan.

Kepentingan publik tidak bisa dijadikan pembenar untuk menghalalkan segala cara (termasuk tindakan untuk mencuri informasi) dalam melakukan liputan investigasi.

Cara lain mengakses informasi awal untuk bahan liputan adalah dengan menjelajahi internet, rajin membaca dan sebagainya. Suhartono wartawan Kompas, ketika menjadi wartawan Jakarta Jakarta pada 1998, pernah mendapat bahan menarik untuk liputan investigasi hanya dari sepotong iklan tentang tender di surat kabar kecil yang tidak terkenal.

Awalnya dia tidak percaya, tender proyek dengan nilai besar hanya diiklankan di media kecil yang jumlah pembacanya juga terbatas.

Namun dari sepotong iklan kecil di koran kecil itulah, dia mendapat bahan menarik untuk sebuah liputan investigasi: siapa pembuat iklan tersebut, proyek apa yang ditenderkan, benarkah iklan itu dibuat untuk mengundang kontraktor atau hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan tender.

Selidik punya selidik, iklan itu ternyata dibuat oleh sebuah institusi negara, proyeknya adalah pembangunan pagar keliling dengan nilai ratusan miliar rupiah. Pertanyaan Suhartono akhirnya terjawab. Iklan itu “kadaluwarsa” karena proyek yang diiklankan itu sebenarnya sudah berjalan dan sudah ada kontraktornya. Ketika akhirnya ditulis, institusi itu sibuk membantah meski belakangan bantahan itu tidak terbukti.

Kredibilitas, Akurasi dan Verifikasi
Jika yang dimaksud dengan kredibilitas adalah jujur dan dapat dipercaya, maka kredibilitas pemasok informasi adalah kata kunci dalam setiap liputan jurnalistik termasuk liputan investigasi.

Hal yang paling sederhana untuk mengukur kredibilitas pemberi informasi adalah dengan melihat jejak rekam mereka. Jika yang bersangkutan adalah tokoh atau orang terkenal, mereka bisa dikenali lewat pernyataan dan sikapnya di media massa.

Jika pemasok adalah orang biasa, kredibilitas mereka bisa diukur dari motivasi dan posisinya. Misalnya, ketika memasok informasi harus diselidiki benar: siapa mereka, sebagai apa, dan apa motivasinya. Dalam hal ini, wartawan dituntut untuk harus selalu skeptis.

Kredibilitas, tak lalu adalah segalanya. Di atas itu semua yang justru paling penting adalah akurasi dan verifikasi. Orang yang memiliki atau dianggap punya kredibilitas, belum tentu memiliki informasi atau data akurat. Sebaliknya orang yang dianggap tidak memiliki kredibilitas, informasinya justru bisa memiliki akurasi tinggi.

Faktor orang dalam hal ini, tidak lebih penting dibanding informasi yang disampaikan orang tersebut. Untuk mengetahui akurat tidaknya sebuah informasi, maka wartawan harus melakukan verifikasi.

Verifikasi penting dilakukan untuk menentukan apakah data atau informasi dari pemasok bisa dijadikan bahan awal liputan atau sebaliknya harus dibuang ke keranjang sampah.

Kasus liputan investigasi Trust pada 2002 tentang pesangon karyawan BPPN sebesar Rp 10 triliun, adalah contoh tidak akuratnya informasi yang dipasok oleh orang yang dianggap punya kredibilitas dan tidak dilakukannya verifikasi oleh wartawan Trust.

Pemberi informasi Trust adalah pengamat yang dikenal tajam analisisnya, lantang menyatakan kebenaran, relatif netral dan tidak punya kepentingan, dan sebagainya.

Namun informasi awal tentang besarnya jumlah pesangon karyawan BPPN, belakangan terbukti sangat jauh panggang dari api, terutama karena memang tidak adanya dokumen sahih yang menyatakan ada angka Rp 10 triliun.

Memang ada “bukti” yaitu beberapa email yang diperoleh pemasok informasi dari seorang petinggi BPPN. Namun email itu hanya semacam surat menyurat yang berisi keluh kesah petinggi BPPN kepada pembocor informasi Trust.

Kesalahan utama yang dibuat penulis, reporter yang mendapat informasi, dan redaktur pelaksana yang memeriksa tulisan, adalah terlanjur percaya dengan nama baik (kredibilitas) pemasok informasi dan (sehingga) mengabaikan verifikasi.

Data dan dokumen (email pejabat BPPN) yang sampai pada meja redaksi, yang didapat reporter dari pemberi informasi yang memiliki kredibilitas, dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang (sudah) layak diberitakan.

Reporter dan redaktur pelaksana tidak melakukan verifikasi seperti yang disarankan oleh Protess dengan teori lingkarannya, misalnya dengan mencari tahu terlebih dulu apakah ada dokumen otentik yang menyebut Rp 10 triliun, darimana hitung-hitungan angka itu, dan kenapa nilainya sampai Rp 10 trilun.

Ketika ditulis dan menjadi judul sampul majalah, berita Trust memang menarik perhatian tapi bukan karena liputannya melainkan karena ketidakakuratan data dan diabaikannya verifikasi.

Beruntung Trust tidak disomasi oleh para pihak di BPPN yang merasa dirugikan nama baiknya tapi berita tentang pesangon itu telah memalukan. Diakui atau tidak, liputan semacam kasus Trust mudah diduga banyak menimpa media lain; informasinya tidak akurat dan wartawannya malas melakukan verifikasi.

Dilanjutkan ke ...
Liputan investigasi tentang penyimpangan penyaluran BLBI
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel