Inilah kebohongan dibalik ngototnya kubu Jokowi mematok PT 20 Persen

Inilah kebohongan dibalik ngototnya kubu Jokowi mematok PT 20 Persen

Para pengatur strategi kubu Jokowi berupaya keras untuk mengeliminasi munculnya setiap kemungkinan pesaing dengan berbagai intrik


Para pendukung Jokowi mencoba membohongi rakyat bahwa menetapkan Presidential Treshold (ambang batas presiden) untuk Pilpres 2019 dengan menggunakan data perolehan suara Pemilu 2014 tidak akan beda jauh dengan hasil dari pemilihan lima (5) tahun kemudian (2019). Benarkah?

Mari kita buktikan, betapa dahsyat kesalahan dan karenanya itu menjadikannya kebohongan besar, dari asumsi asal-asalan seperti itu.

1. Jumlah pemilih pada Pilpres 2014 adalah 160 juta orang. Bila kita hitung dengan data pertumbuhan penduduk sebesar 1,7% maka pemilih pada Pilpres 2019 akan berjumlah 174 juta lebih, atau ada tambahan pemilih baru sebanyak 14 juta orang.

Jumlah itu saja setara dengan dua kali jumlah selisih kemenangan Jokowi atas Prabowo yang hanya tujuh (7) juta orang. Apalagi angka itu hanya karena pemilih fanatik Jokowi di Jawa Tengah saja. Sedang di semua Provinsi lain Prabowo menang merata meski tipis.

2. Jumlah pemilih baru pun sebenarnya bukan hanya 14 juta orang. Hal ini bukan akibat pertambahan penduduk itu saja. Tapi jauh lebih banyak, karena selain itu, masih ada paling tidak tambahan pemilih baru sejumlah (1/1,7) x 14 juta = 8.235.294 juta orang lagi yang merupakan "pengganti dari jumlah penduduk yang meninggal".

Sehingga jumlah total pemilih baru adalah (14 + 8,24) juta = 22,24 juta orang. Angka itu adalah 300% lebih dari jumlah selisih angka yang memenangkan Jokowi.

3. Dengan asumsi semua pemilih lama Jokowi masih fanatik dan memilih dia lagi pun, tak ada jaminan 22,24 juta pemilih baru itu akan memilih Jokowi.

4. Padahal, dengan sepak terjang politik Jokowi yang baru dua tahun saja nyata-nyata sangat anti-Islam, ditambah dengan makin terlihatnya ketakmampuan rejim ini dalam mengelola ekonomi, seperti tercermin dari memburuknya index Gini, hal mana merupakan gambaran yang identik dengan yang terjadi di Jakarta jaman Ahok, bukan mustahil hasil Pilpres 2019, Jokowi akan bernasib mirip dengan anak emas nya itu. Atau setidaknya Jokowi tak mungkin terpilih kembali, siapapun pesaingnya. Tentu bila semua dilakukan secara demoratis, jujur dan adil.

5. Para pengatur strategi di kubu Jokowi bukan tak melihat kemungkinan itu. Maka itu mereka tampak berupaya keras untuk mengeliminasi munculnya setiap kemungkinan pesaing dengan berbagai intrik politik hingga yang paling tak masuk akal seperti soal Presidential Treshold yang didasarakan pada hasil Pemilu 2014 yang sudah kadaluwarsa.

6. Mungkin keadaan masih bisa berbalik menjadi menguntungkan Jokowi kalau ia merubah sikap dan pendekatanya terhadap umat Islam secara keseluruhan. Sesuatu yang dapat merupakan tantangan berat baginya mengingat latar belakang agama dan politik dari partainya dan juga para penyumbang utama dana kampanyenya.

Lalu mengapa para fans berat tak mau berpikir kritis dan analitis, atau setidaknya jujur? Rupanya begitulah kalau akal seseorang diajak untuk mendukung idolanya dulu, baru berpikir; hasilnya adalah kekacauan.

Penulis : Sofyan Said
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda