Saya Pancasila, Saya Taipan dan Negara pun menyerahkan semua harta bendanya

Saya Pancasila, Saya Taipan dan Negara pun menyerahkan semua harta bendanya

Visi utama adalah bagaimana hak rakyat dirampas dan dipindahkan menjadi hak swasta atau taipan


Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dalam periode 1998-2002 telah mengubah secara mendasar visi, misi, strategi, serta program perjuangan bangsa Indonesia dari saya Pancasilais, saya nasionalis dan saya kerakyatan, menjadi saya Pancasila, saya asing, saya taipan.

Amandemen UUD telah secara legal memindahkan kekayaan negara secara keseluruhanya menjadi kekayaan asing dan kekayaan taipan. Sehinga tadinya negara secara visi, misi, strategi dan program mengabdi pada rakyat, berubah menjadi pemerintahan yang mengabdi pada asing dan taipan.

Bukti paling sederhana dan sangat mudah dipahami tergambar kondisi fiskal atau APBN Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Terjadi anomali yakni penerimaan negara dari kekayaan alam menurun sementara pada saat yang sama alokasi kekayaan alam untuk dieksploitasi oleh asing dan taipan meningkat secara fantastis.

Penerimaan dari royalti pertambangan mineral, batubara, bagi hasil migas, penerimaan hasil perkebunan, kehutanan jika dikumpulkan lebih kecil dari penerimaan cukai tembakau. Ini adalah fakta bukan asumsi.

Padahal investasi dalam sektor sumber daya alam sangat besar. Bahkan dalam era reformasi investasi sumber daya alam bagaikan jamur di musim hujan. Investasi sumber daya alam penuh sesak. Bahkan di beberapa wilayah penguasaan tanah oleh investor dalam satu kabupaten lebih luas dari wilayah kabupaten itu sendiri.

Mengapa keanehan yang begitu konyol itu bisa terjadi?

Karena amandemen UUD 1945 yang kita sebut sebagai reformasi telah melepaskan konsep penguasaan negara atas kekayaan alam. Penguasaan kekayaan alam tanah dan kekayaan yang ada di dalamnya diserahkan kepada swasta (investor) melalui ijin, konsesi, dan berbagai bentuk hak penguasaan lainnya dalam jangka panjang.

Cara membuat negara tidak menguasai kekayaan alam adalah dengan mengacaukan seluruh pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan posisi kekayaan alam dan selanjutnya atas dasar UUD amandemen dibentuk UU penanaman modal, pembentukan UU BUMN, dan berbagai UU sektoral lainnya yang berkaitan dengan kekayaan alam.

Visi utama dari pembuatan semua UU adalah bagaimana hak rakyat yang ada dalam penguasaan negara dirampas dan dipindahkan menjadi hak pihak swasta atau investor yakni asing dan taipan.

Akibatnya negara yang tadinya menguasai kekayaan alam melalui perusahaan negara, sekarang tidak lagi menguasai kekayaan alam. Pertamina tidak menguasai minyak dan gas. Padahal Pertamina adalah perpanjangan tangan negara.

Demikian juga dengan perusahaan negara lainnya di bidang pertangan, perkebunan, kehutanan. Sementara BUMN yang melakukan investasi di bidang kekayaan alam sama dengan perusahaan swasta yang bertujuan mencari untung.

Hasilnya perusahaan perusahaan swasta milik asing dan taipan untung sangat besar dari mengeruk kekayaan alam, akan tetapi negara tidak untung besar. Perusahaan perusahaan bertambah penerimaannya atas sumber daya alam, tapi sebaliknya penerimaan negara dari kekayaan alam menurun.

UU pada era reformasi Ini sebetulnya adalah hukum yang bekerja di atas logika sederhana yakni perusahaan merampas sebanyak banyaknya kekayaan alam dari tangan rakyat yang dikuasai negara dan dipindahkan ke tangan swasta asing dan taipan.

Lalu bagaimana negara dan pemerintahan bisa eksis tanpa kekuasaan atas sumber daya alam? Negara harus dibiayai oleh rakyat sendiri, rakyat harus bayar pajak lebih banyak, rakyat harus bayar tarif lebih besar, rakyat harus bayar sewa apa saja lebih mahal. Negara Indonesia yang sebelumnya dibangun untuk mensejahterakan rakyat. Sekarang diubah menjadi disumbang oleh rakyat, karena negara sudah menyerahkan semua harta bendanya kepada perusahaan.

Pada era Orde Baru penerimaan negara atas migas selama bertahun tahun mencapai 75% dari struktur APBN. Penerimaan tambang mengisi sisanya. Negara tidak begitu agresif dalam memungut pajak. Pajak hanyalah tanbahan saja bagi penerimaan negara. Utang luar negeripun demikian hanya merupakan tambahan. Utang rata rata di era soeharto hanya 1,7 miliar dolar setahun. Bandingkan sekarang Jokowi setahun membuat utang pemerintah sekitar 40 miliar dolar setahun.

Sekarang penerimaan bagi hasil minyak hanya sekitar Rp. 20-Rp.40 triliun setahun atau hanya sebesar 1-2% dari APBN. Penerimaan sektor tambang lebih kecil lagi padahal luas tambang minerba telah mencapai 40 kali luas pulau sumbawa, luas kontrak migas 2 kali luas pulau sumatera.

Penerimaan sektor perkebunan hampir tidak kelihatan. Padahal luas kebun sawit (antara 9 -10 juta hektar) sudah mencapai 20 kali luas pulau Bali (sekitar 5 ratus ribu hektar). Demikian juga penerimaan sektor kehutanan tinggal seupil. Padahal luas ijin kehutanan mencapai 32 juta hektar hampir 3 kali luas pulau jawa.

Belakangan ini kembali menjamur sektor property dengan penguasaan lahan yang sangat agresif di kota kota besar, di garis pantai dan kawasan industri. Bagaimana penerimaan negara sektor property? Ini lebih tidak jelas lagi. Padahal investasi sektor ini daya rusaknya sangat besar. Sektor ini menjadi ajang spekukasi, pemicu utama inflasi, merusak tata ruang, membuat kota kota seperti monster.

Penguasaan sektor ini sekarang didominasi oleh swasta. Para taipan sektor ini adalah orang terkaya di Indonesia. Mereka menguasai tanah sangat luas. Para taipan dengan bebas menancapkan bangunan di mana saja mereka kehendaki. Tanpa peduli lagi tata ruang, jalur hijau. Semua dibabat.

Meskipun para taipan property telah menguasai lahan di Jabodetabek sekarang sedikitnya setara dengan 2/3 luas wilayah Jakarta. Namun sumbangan mereka terhadap penerimaan negara sama sekali tidak kelihatan.

Keuntungan para taipan property bukan hanya dari penjualan rumah, apartemen, ruang perkantoran, tapi lebih besar lagi dari pasar keuangan, utang, saham, dari pasar internasional. Mereka mengeruk untung dengan menggadai tanah air Indonesia.

Sementara negara telah keluar dari penguasaan sektor property, negara telah keluar dari kewajibannya menyediakan perumahan bagi rakyat. Penyediaan kebutuhan dasar di bidang papan ini telah diserahkan kepada taipan. Para taipan mengeruk bunga dan sewa dari rakyat.

Hasilnya? Ekonomi memang tumbuh, tapi pertumbuhan ekonomi tidak diikuti dengan penerimaan pajak. Sebagai contoh dalam sejak tahun 2014-2016 ekonomi tumbuh diatas 5% tapi penerimaan pajak tidak bertambah. Antara pertumbuhan ekonomi dan pajak tidak berhubungan.

Tahun 2017 penerimaan pajak akan menurun dibandingkan dengan tahun 2016 padahal pertumbuhan ekonomi diasumsikan berada diatas 5%. Mengapa?

Pertumbuhan ekonomi hanyalah mencerminkan pertumbuhan penerimaan sektor swasta, produksi dan penjualan mereka. Seluruh hasil hasil swasta ini telah dibagi bagikan kepada pemangku kepentingan, para pemegang saham, para pemilik uang dari utang utang perusahaan yang sebagian besar dari luar negeri. Demikian juga dengan keuntungan mereka sebagian besar ditempatkan di luar negeri.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan yang ditopang oleh konsumsi barang barang impor yang diimpor oleh asing dan taipan (C), investasi asing dan taipan (I), utang luar negeri dalam komponen pengeluaran pemerintah (G) dan ekspor bahan mentah oleh perusahaan asing dan taipan (X-M). Itulah mengapa pertumbuhan ekonomi pemerintah bukan hanya berkualitas, tidak berkorelasi dengan pajak, akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang merusak ekonomi dan sosial masyarakat.

Hanya sedikit sekali yang tersisa untuk negara. Hanya seupil yang mereka bayarkan sebagai pajak. Para investor telah secara efektif mengubah kewajiban kepada negara menjadi biaya operasional perusahaan, biaya bunga, gaji, dan pengeluaran luar negeri lainnya.

Prof. Jefry Winter pernah menyampaikan kritik pada Orde Baru. Dia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi orde baru antara 7-8% hanya cukup dibagikan diantara oligarki penguasa yakni pemerintah dan pengusaha saja. Jefry mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut tidak pernah dapat dibagikan kepada rakyat.

Bagaimana sekarang? Pertumbuhan ekonomi era reformasi yang hanya 4-5% ternyata tidak cukup untuk dibagikan pada oligarki karena terlalu kecil. Sehingga pemerintah terus memburu rakyat dengan pajak tinggi, tarif selangit, sewa dan bunga mencekik. Karena pertumbuhan ekonomi 4-5% yang dimiliki pengusaha bahkan tidak bisa cukup untuk membayar utang utang meraka.

Sekarang terjadi kecurangan yang lebih sadis. Rakyat yang diperas. Pajak rakyat menjadi bancakan swasta melalui mega proyek infrastruktur yang pelaksanan melalui penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN dan pelaksanaan proyek infrastruktur yang dibiayai APBN oleh swasta. Baik proyek PMN maupun mega proyek lainnya, semuanya adalah ajang swasta asing dan taipan untuk melahap APBN.

Sehingga kalau diringkas Visi, misi, strategi dan program pemerintahan sekarang lebih tepat menggunakan slogan saya pancasila, saya Asing, saya Taipan.

Penulis: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda