Menteri Luhut menyebutkan harga LNG dari Singapura lebih murah dari yang lain

Menteri Luhut menyebutkan harga LNG dari Singapura lebih murah dari yang lain

Menteri serba tau LBP, pembelian LNG dari Negeri Singa lebih murah ketimbang mendatangkan LNG dari Indonesia Timur.


Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan membuka peluang impor gas alam cair (LNG) dari Singapura. Hal ini terutama jika hasil perhitungan komponen biaya yang timbul akibat pembelian dari Negeri Singa itu lebih murah ketimbang mendatangkan LNG dari Indonesia Timur.

Luhut menyebutkan harga LNG dari Singapura sebesar US$ 3,8 per MMBTU. "Itu sudah termaksud harga fasilitas (penyimpanan) dan harga gas, tapi saya lupa rinciannya. Yang jelas PLN bilang ada peluang harga mereka (Singapura) lebih murah dari yang lain," ujarnya, di Gedung BPPT, Selasa, 5 September 2017.

Luhut beranggapan harga murah yang ditawarkan oleh Singapura merupakan tantangan untuk lembaga penyedia gas LNG di Indonesia. "Kalau mereka bisa murah, kenapa kita tidak?" ujarnya.

Selain terbuka akan opsi impor, Luhut menyebutkan saat ini masih sedang dalam proses kerja sama dengan Singapura dalam penyediaan infrastruktur. Peluang pertukaran (swap) antara LNG Singapura dengan LNG milik Indonesia, menurut Luhut, juga sangat dimungkinkan.

Terlebih, kata Luhut, jika terbukti pertukaran LNG kedua negara bisa lebih murah ketimbang biaya yang harus dikeluarkan untuk membawa LNG dari Indonesia Timur. "Kalau nanti dengan adanya pertukaran (swap) ini lebih murah, kenapa tidak?," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, I Gusti Nyoman Wiratmaja, menyatakan tahun ini ada pasokan 18 dari 60 kargo LNG domestik belum memiliki pembeli. Pemerintah akan terus menawarkan kargo tersisa kepada pembeli hingga akhir tahun. Jika belum ada permintaan, pemerintah bakal menjualnya ke pasar spot yang harganya lebih murah.

Pasokan ini juga akan terus bertambah pada 2020 ketika kilang Baru Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat (Tangguh Train III), mulai berproduksi. Kilang yang dikelola BP Berau Ltd. ini bakal menghasilkan LNG hingga 3,8 juta ton per tahun. Tambahan lainnya berasal dari Lapangan Abadi, Blok Masela, yang dijadwalkan menghasilkan gas hingga 10,5 juta ton per tahun. Saat ini, kontraktor Blok, Inpex, tengah menyusun rencana pengembangan.

Stok LNG yang menganggur berisiko bertambah jika kesepakatan gas antara kontraktor dengan pembeli gagal berlanjut ke tahap kontrak. Contoh kasusnya terjadi pada kesepakatan PT PLN (Persero) dengan BP Berau untuk memasok gas sebesar 20 kargo LNG per tahun hingga 25 tahun ke depan. Hingga kini, perjanjian jual beli gas tidak kunjung diteken kedua pihak. "Kalau sesuai rencana, konsumsi gas akan naik," kata Wiratmaja pertengahan Juli lalu.

Penulis :
M JULNIS FIRMANSYAH | ROBBY IRFANY

Indonesia belum perlu impor LNG.
Rencana pemerintah untuk memulai impor LNG dari Singapura tidak mendapat dukungan wakil rakyat di Senayan. Anggota Komisi VII DPR RI Ahmad M Ali menyayangkan impor liquefied natural gas (LNG) untuk pasokan PLN dari perusahaan minyak dan gas (migas) asal Singapura, Keppel Offshore & Marine LNG.

"Awalnya kami mengira ini hanya sekadar rencana mengingat besarnya Kargo LNG kita yang tidak laku setiap tahun," kata Ahmad dalam keterangan tertulis kepada KONTAN pada Minggu (10/9).

Menurut Ahmad, harga mungkin bisa jadi pertimbangan pemerintah karena kabarnya perusahaan tersebut menawarkan harga sekitar US$ 3,8 per mmbtu. "Mungkin kalau logikanya b to b, bisa jadi cocok dengan harga itu karena memang terbilang murah. Tetapi pemerintah harus ingat bahwa PLN adalah perusahaan negara yang harusnya bisa saling mengisi dengan Pertamina, terutama membeli Kargo LNG dalam negeri," terangnya.

Kata Ahmad, PLN sebagai perusahaan listrik negara dapat menjadi mitra strategis dengan Pertamina untuk mendorong lahirnya kawasan industri berbasis energi gas. Pasalnya berdasarkan data ESDM, jika tidak ada permintaan terhadap LNG dalam negeri, jumlah kargo LNG yang tidak terserap akan terus bertambah hingga 2035 dengan rata-rata jumlahnya mencapai 50-60 kargo per tahun.

Di sisi lain, PT Perusahaan Gas Negara (PNG) menyebut impor LNG seharusnya tidak dilakukan. Pasalnya produksi gas domestik hingga saat ini masih surplus.

"Ada beberapa sumur yang sudah diproduksi mau dijadikan LNG itu masih mencari pembeli. Ini tugas kita bersama agar,gas yang di dalam negeri dipakai di dalam negeri untuk pasar sendiri dulu," imbuh Head of Marketing and Product Development Division PGN, Adi Munandir, Kamis (8/9).

Surplus produksi gas di dalam negeri menurut Ali disebabkan oleh masih rendahnya penyerapan gas oleh industri dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh aktivitas industri yang tengah melambat. Padahal harga gas domestik dibandingkan dengan harga gas di China sudah cukup rendah. Pemerintah juga punya otoritas penuh untuk menentukan harga gas dalam negeri. (k)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda