Politik nabok nyilih tangan ala Jokowi karena takut menegur langsung

Politik nabok nyilih tangan ala Jokowi karena takut menegur langsung

Jokowi tidak punya keberanian menegur langsung dua pejabat tinggi negara itu yang nota bene, di atas kertas merupakan bawahannya


Serangan Menko Kemaritiman Rizal Ramli kepada Rini Soemarno, Menteri BUMN dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, apapun motifnya, jelas menunjukkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tengah menghadapi “krisis kepemimpinan”.

Boleh jadi Rizal Ramli memang “disuruh” Presiden Jokowi untuk mengingatkan Rini Soemarno dan Jusuf Kalla untuk tidak bermain-main dengan proyek bernilai puluhan sampai ratusan triliun rupiah. Namun cara ini menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, Presiden Jokowi tidak punya keberanian menegur langsung dua pejabat tinggi negara itu yang nota bene, di atas kertas merupakan bawahannya.

Demikian pula bila Rini dan Jusuf Kalla merasa bersih, tidak bermain-main proyek, sebagai pemimpin, keduanya tidak perlu sewot atau seperti kebakaran jenggot. Hadapi saja Rizal Ramli dengan cara dialog dan tunjukkan kepada publik bahwa mereka semua memang bagian dari pemimpin berkualitas dan bermartabat bangsa Indonesia. Oleh sebab itu menghadapi kisruh dalam kabinet Jokowi ini, kita sebaiknya jangan terburu-buru menyalahkan Rizal Ramli.

Misalnya dengan menuduhnya, tidak punya etika, masih berperilaku sebagai pengamat dst dan dsb.Rizal Ramli bisa kita salahkan kalau keadaan pemerintahan Jokowi berjalan dalam keadaan normal. Tanpa meremehkan kemampuan semua anggota kabinet, termasuk pimpinannya, Presiden dan Wapres, kabinet Jokowi sangat tidak normal.

Bayangkan, beberapa bulan sebelumnya, adalah Wapres Jusuf Kalla yang justru mengeluarkan peryataan yang kerap bertentangan dengan kebijakan dari Presiden Jokowi. Sebuah lembaga pemerhati bahkan sempat mencatat, paling tidak ada tujuh kebijakan

Presiden Jokowi yang ditentang oleh Wapres Jusuf Kalla.Di antarnya soal KPK, pencalonan Budi Gunawan dan pembekuan PSSIArtinya kalau bicara soal etika, orang pertama yang harus ditegur bangsa ini adalah Jusuf Kalla. Bukan Rizal Ramli.Tapi kalau mau mencari apa yang menjadi akar permasalahannya, sebetulnya tidak perlu repot-repot berpikir. Tidak perlu menggunakan teori yang berat dan rumit. Cukup gunakan logika sederhana.

Bahwa akarnya terletak pada perebutan lahan rezeki melalui kekuasaan.Rizal Ramli tidak lagi melihat Rini Seomarno dan Jusuf Kalla sebagai pejabat negara. Karena Rizal Ramli tidak silau dengan jabatan mereka. Sejak 2009, Rizal Ramli sudah mendeklarasikan keinginannya menjadi Presiden RI.

Jadi Rizal Ramli melihat Rini dam JK sebagai warga negara biasa yang memperoleh kesempatan menduduki kekuasaan. Kemudian dengan kekuasaan yang tanpa kontrol publik, mereka mencoba mengais rezeki melalui proyek berbasis kepentingan bangsa.

Maka lahirlah proyek pembelian armada baru Garuda dan proyek pengadaan tenaga listrik berkapasitas 42,500 mega watt. Dua proyek itu di mata bekas konsultan perusahaan-perusahaan raksasa itu, hanya akan membenani keuangan negara. Sementara beban negara sudah sedemikian berat.

Di mata Rizal Ramli, kedua proyek itu, tidak sepenuhnya bermanfaat bagi kepentingan bangsa. Mengingat kebutuhan utama bangsa Indonesia bukan kehadiran dua proyek itu. Tapi yang lebih serius dari itu sebetulnya, dalam waktu yang relatif singkat, Presiden Jokowi tidak berhasil mencegah terjadinya pengelompokan di antara sesama anggota kabinetnya.

Selain itu, Presiden Jokowi tidak cukup jeli membaca pertarungan antara Rini Soemarno dan Megawati Soekarnoputri. Pertarungan mana yang lebih mengentalkan pengelompokan atau blok-blokan di antara sesama anggota kabinet. Misalnya ada blok KMP (Kalla Mega Paloh).

Dalam perombakan kabinet medio Agustus lalu, pertarungan Rini Soemarno dan Megawati, sebetulnya bisa diselesaikan. Dalam arti jika Presiden Jokowi mampu memutus kekuasaan dan jaringan Rini Soemarno. Entah dengan cara menggesernya ke kementerian lain yang tidak cukup “basah” atau sekaligus mengeluarkannya dari kabinet.

Sebab di situlah sebetulnya akar permasalahan terberat yang dihadapi oleh Presiden Jokowi. Sudah bukan rahasia lagi, konflik pribadi antara Mengawati dan Rini, merebak, hanya dalam hitungan hari setelah Presiden Jokowi membentuk kabinetnya akhir Oktober 2014 lalu.

Rini yang tadinya merupakan sahabat terdekat Megawati tiba-tiba menjauh dari Ketua Umum DPP PDIP tersebut. Termasuk menjauhkan Presiden Jokowi dari pengaruh Megawati. Putri Proklamator ini merasa dikhianati oleh Rini Soemarno.

Bagaimana tidak ? Persahabatan Rini dan Mega sudah ada sejak ayah mereka berdua masih hidup. Mendiang ayah Rini, Pak Soemarno diberi kepercayaan oleh almarhum Presiden Soekarno sebagai Guberur Jakarta. Sebuah jabatan prestisius, karena Jakarta merupakan ibukota negara.

Rini dan Mega pun menjadi anak-anak pejabat tinggi negara yang bersahabat.

Tidak heran, manakala Megawati menjadi Presiden RI dari tahun 2001 – 2004, Rini dipercaya menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Setelah keduanya tidak lagi berada dalam lingkar kekuasaan, persahabatan ataupun pertemanan mereka berlanjut dengan kadar kedekatan yang lebih kental.

Rini yang saat itu menghadapi problem rumah tangga dan perceraian, paling banyak atau paling sering mengadu ke Megawati di rumah Mega, Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat. Kedekatan mereka sebagai sahabat, makin bertambah-tambah ketika Taufiq Kiemas, suami Megawati meninggal dunia di bulan Juni 2013. Rini menjadi satu-satunya sahabat setia Megawati. Perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai janda, menjadi salah satu unsur perekat persahabatan mereka.

Ketika Pileg 2014, partai yang dipimpin Megawati meraih suara terbanyak, Rini semakin dekat dan dipercaya Megawati. Mereka tak ubahnya dengan “permen karet”.

Tatkala Pilpres 2014, capresnya PDIP, Jokowi menang atas Prabowo Subianto, Rini langsung membentuk Rumah Transisi. Lewat Rumah Transisi inilah Rini Soemarno digadang-gadang melakukan seleksi siapa saja yang patut menjadi anggota kabinet Presiden Jokowi atau “Presiden PDIP”.

Bagi Megawati, Rumah Transisi merupakan sebuah ide cemerlang yang ikut membantunya sebagai seorang “Queen Maker”. Sementara bagi berbagai kalangan Rumah Transisi itu hanya sebuah kedok bahwa PDIP sebagai pemenang Pilpres, memiliki konsep yang sangat brilian.

Belakangan satu persatu terkuak. Rini sebetulnya bermain dua kaki. Saat Pemilu 2014, dia ikut menyumbang beberapa ratus juta rupiah kepada Prabowo Subianto, sosok yang merupakan saingan Jokowi maupun PDIP cq Megawati.

Namun mengganjar Rini, tidak mungkin, apalagi Rini sudah berhasil masuk kabinet. Semenjak itu, Megawati sewot atau sakit hati kepada Rini. Megawati merasa dikhianati oleh sahabat terdekatnya. Megawati mungkin merasa, tak usahlah berpikir sebagai sahabat. Tetapi sebagai sesama janda, semestinya mereka saling menjaga

perasaan masing-masing. Hanya saja masalah pribadi tak bisa diungkap Megawati ke permukaan. Satu-satunya kompensasi, Megawati menekan Jokowi agar merombak kabinet dan tentu saja mengeluarkan Rini Soemarno.

Namun Jokowi termakan provokasi bahwa dia didikte oleh Megawati. Jokowi tidak merespon tekanan Mega bahkan ia lebih menjauh. Tidak itu saja, Jokowi juga selain mejauhi Mega justru mendekat ke Prabowo.

Pada hakekatnya, sikap Jokowi ini mencerminkan ia yang sedang belajar menjadi pemimpin dan tidak atau belum punya keberanian membuat keputusan yang tidak populer.

Apalagi semakin santer kabar beredar di luar bahwa Rini sudah merapat ke Wapres Jusuf Kalla. Hal mana membuat Jokowi beripir seribu kali melawan JK. Jokowi sadar saudagar asal Bugis ini, terkenal orang yang tidak gampang ditaklukkan. Sehingga ketika dia sudah komit mendukung seseorang, hal itu akan terus dipertahankannya.

Jadi jika disederhanakan, persoalan paling serius yang dihadapi Presiden Jokowi adalah perseteruan dari dua janda yang sama-sama memiliki basis. Kalau Jokowi bisa menyelesaikan sengketa kedua janda tersebut, jalannya pemerintahan akan berbeda. Sayangnya, Jokowi belum sampai ke sana.

Nah, masuknya Rizal Ramli dalam kabinet yang langsung menohok Rini Soemarno bisa jadi sebagai cara Jokowi menyelesaikan perselisihan antara dua janda. Sebab Jokowi pun mungkin sadar, resiko dari perseteruan Rini dan Mega telah menyebabkan pemerintahannya tersandera. Atau dua janda bermasalah, republik pun tersandera.

Pesan bagi sahabat yang sudah selesai membaca ulasan ini, buang jauh-jauh paradigma yang menilai, tulisan ini sangat menyederhanakan persoalan. Sebab kalau anda terlalu serius pun, toh tak akan menyelesaikan persoalan yang dihadapi Jokowi maupun kita sesama rakyat Indonesia. sumber


*  
Admin
Thankyou guys for reading the article Politik nabok nyilih tangan ala Jokowi karena takut menegur langsung Yours.net admited that though we trying to describe accurately, we cannot verify the exact facts of everything posted. Posting may contains Information, speculation or rumor.
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda