Bank  BUMN akan di lego alasannya untuk membiayai proyek infrastruktur

Bank BUMN akan di lego alasannya untuk membiayai proyek infrastruktur

Di saat banyak bank nasional mengerem nafsu berutang dalam bentuk valuta asing, tapi justru 3 bank BUMN dicarikan utangan oleh Rini Sumarno


Di saat banyak bank nasional mengerem nafsu berutang dalam bentuk valuta asing, tidak demikian dengan tiga bank pemerintah. Ketiga bank BUMN Bank Mandiri, BRI, dan BNI malah mengajukan pinjaman masing-masing sebesar US$ 1 miliar kepada China Bank of Development (CBD), atau total US$ 3 miliar (Rp 43,28 triliun).

Pinjaman bertenor 3 hingga 10 tahun itu akan digunakan untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur. Antara lain proyek pembangunan rel kereta api Stasiun Manggarai - Bandara Soekarno Hatta. Proyek senilai Rp 2,5 triliun tersebut nantinya akan dikerjakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan konsorsium PT Railink.

Berdasarkan Statistik Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Juni 2015, total dana pihak ketiga (DPK) perbankan umum dalam bentuk valas mencapai Rp 772,8 triliun. Namun derasnya dolar yang masuk ke laci bank tidak diimbangi dengan kucuran kredit yang memadai. Dalam periode yang sama, pinjaman valas yang dikucurkan perbankan nasional hanya tercatat sebesar Rp 643,6 triliun.

Ahmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, mengatakan bahwa permintaan kredit valas sesungguhnya amat besar. Hanya saja, sebagian debitor BNI berasal dari korporasi berbasis ekspor, seperti crude palm oil (cpo) dan batu bara yang saat ini harganya sedang terpuruk di pasar internasional. “Kami memang sangat selektif dalam memilih debitor,” ujarnya.

BRI juga sangat selektif dalam memberikan pembiayaan dalam dominasi valas. Apalagi bank ini lebih fokus pada pembiayaan usaha kecil (UMKM). Menurut Haru Koesmahargo, Direktur Keuangan Bank BRI, porsi kredit valas BRI hanya 10% - 11% dari total kredit. “Kami juga menjaga Loan to Deposit Ratio (LDR) valas di kisaran 50% - 60% hingga 2015,” katanya.

Nah, rendahnya LDR valas tadi sudah barang tentu membuat beban perbankan juga menjadi tinggi. Apalagi instrumen investasi valas amat terbatas. Sehingga, jika DPK valas tidak disalurkan dalam kredit, keuntungan yang diraih tidak optimal. Apalagi transaksi antar bank kini semakin terbatas. “Soalnya hampir semua bank sedang mengalami over likuiditas,” ujar seorang bankir swasta.


Jika benar begitu, mengapa Bank Mandiri, BRI, dan BNI ngotot mengajukan pinjaman ke CBD?
Ini dia yang sulit dijawab.

Apalagi, bunga yang dikenakan oleh CBD juga relatif tinggi, yakni Libor (London Interbank Offered Rate) plus 200 basis poin.  “Jauh lebih tinggi dari pinjaman (valas) BNI kepada bank lain,” ujar Baiquni.

Selain bunganya relatif tinggi, tidak seluruh pinjaman  dari CBD diberikan dalam mata uang dolar. Sekitar 30% di antaranya atau US$ 300 juta akan diberikan dalam bentuk renmimbi.

Persoalannya, permintaan kredit diajukan oleh para debitor bank BUMN umumnya dalam mata uang dolar.

“Kalau BNI ambil renmimbi tapi tidak bisa dipakai, kami bisa rugi,” ujar Rico Rizal Budidarmo, Direktur Keuangan Bank BNI.

Ada kemungkinan 30% dari total pinjaman US$ 3 miliar nantinya akan digunakan untuk pembiayaan impor barang-barang dari China. Dugaan ini semakin kuat karena kucuran kredit dari CBD ini inisiatipnya adalah Rini Soemarno, menteri BUMN, yang dekat dengan pejabat dan pengusaha China.

Seandainya Mandiri, BRI, dan BNI sampai tidak sanggup mengembalikan pinjaman, bukan mustahil CBD akan masuk ke tiga bank BUMN tersebut. Tentu saja, ini berbahaya. (ir)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda