mBah Suto bersama cucunya mengadu nasib ke Jakarta (2)

mBah Suto bersama cucunya mengadu nasib ke Jakarta (2)

Sampai disetasiun Gambir keduanya turun dari kereta. Mereka nampak masih bingung dan sedikit gagap dengan keadaan Jakarta

Oleh: Nonodiono W

Dan suara jeritan ketakutan anak itu kemudian melemah ketika keduanya sampai didalam kereta. Seketika secara serentak tanpa komando terdengar tiriakan orang-orang yang ada didalam kereta itu

" Allahu Akbar.......Allahu Akbar.....Allahu Akbar.....!!!!! Alhamdulillah....."
Disusul tangisan pilu mbah Suto yang kemudian pingsan ketika memeluk erat cucu kesayangannya

Sebelum sampai Cirebon mbah Suto sudah mulai siuman. Mula-mula ia bingung lalu duduk. Masih belum loding. Tapi begitu melihat keberadaan cucunya lelaki tua itu langsung memeluknya erat-erat seolah takut kehilangan.

" Oalah....nggeerr....kakung deg-degan entek atiku.....Alhamdulillah.. " Lelaki tua ini menangis sambil menciumi kepala cucunya berkali-kali. Menangis gembira dan rasa syukur atas keselamatannya.

Dan yang berdiri disebelah cucunya adalah tentara berseragam loreng. Lelaki tua itu tahu dialah yang telah menyelamatkan cucunya. Seketika itu juga ia tubruk kaki penyelamat itu dengan penuh rasa syukur dan terima kasih tak terhingga.

" Terima kasih bapak.......terima kasih telah menyelamatkan cucu saya.......Terima kasih " Ia memeluk semakin erat sebelum kemudian tentara itu meraih tubuh pak tua untuk berdiri.

" Bukan saya yang menyelamatkan cucu bapak "

" Haahhh.....???!! " Batinnya setengah protes

" Saya hanya perantara, pak.....Tapi Tuhan yang berkehendak. " Suara tentara itu lembut seperti ustadz.

" Oh..... Bapak orang baik.....maafkan saya......Terima kasih.... Semoga bapak tentara mendapat ganjaran yang berlipat-lipat dari yang Maha Kuasa.."

" Aamiin... "

" Semoga seluruh dosa bapak selama ini diampuni dan diganti dengan barokahNya....... "

" Aamiin....aamiin. aamiin...."

Kereta memperlambat jalannya yang kemudian berhenti di stasiun Cirebon. Sebelum berhenti tentara itu mengeluarkan dompetnya dan mengambil dua lembar uang kertas diselipkan kekantong Juno.

Juno hanya terkesima menatap wajah tentara itu sambil memegang kantong bajunya yang berisi uang. Beberapa mata yang ada disitu ikut terkesima.

Maka Sejurus kemudian beberapa lembaran dan recehan uang ikut berjatuhan didepan anak itu. Sebelum turun keluar kereta tentara itu Bersalaman dengan pak tua dan Juno.

" Kalau ada kesempatan silahkan main kerumah saya di CiJantung. ini alamat saya " Tentara itu memberikan kertu namanya.

Sebelun turun kereta orang-orang secara berebutan minta salaman pada tentara yang berhasil menyelamatkan anak kecil itu. Dan begitulah sampai ia turun dari kereta.

Maka seluruh mata yang ada disitu seolah sedang tertuju kepadanya. Tentara yang gagah, ganteng dan masih terlihat nuda itu melangkah tegap menenteng ransel dan pistol dipinggangnya.

Tinggi tubuh tentara itu lebih kurang 172 cm dengan kumis hitam pekat terkesan ramah. Sangat layak untuk menjadi pusat perhatian.

Dan ia sangat sadar dengan itu semua. Sebelun tentara itu sampai pintu stasiun terdengar suara orang-orang Mengelukan dengan suara simpatinya sambil melambaikan tangannya dijendela gerbong itu.

Riuh dan syahdu. Tentara baret merah yang bernama i Nyoman Gari Raharjo dan berpangkat letnan itu membalikan badan. Melambaikan tangannya.

Tak ada tersirat rasa bangga dan kesombongan diri dari wajahnya. Maka suara riuh rasa simpati itu semakin seru layaknya mengelukan seorang pahlawan. Dan keretapun merangkak pergi meneruskan tujuannya.

Sampai disetasiun Gambir keduanya turun dari kereta. Mereka nampak masih bingung dan sedikit gagap dengan keadaan disini. Hingar bingar berbagai suara yang datang dari segala arah membuat mereka harus segera istirahat. Dengan bawaannya yang cukup berat mbah SUTO melangkah mencari tempat duduk.

Si JUNO mengikuti dibelakangnya dengan terseok-seok menggeret bawaannya nampak kelelahan. Kesibukan lalu lintas diluar sana menambah kengerian dihati Juno yang semakin terasa asing.

Setelah sejenak istirahat dengan duduk lesehan dilantai. Mereka merasa haus. Lalu sebuah botol berisi sir putih dikeluarkan dari ransel. Masing-masing beberapa tegukan terasa segar. mBah Suto melihat wajah cucunya yang lelah.

" Kamu ngantuk Juno ? "

Anak itu terdiam. Hanya ekspresinya yang menjawab.

" Kita harus cari makan yang seger-segar. Yang panas. supaya nggak ngantuk."

" Bakso apa soto kung...."

" Ya.....tapi kalau disini pasti mahal, le."

" Cari yang murah saja, kung..."

Ditempat yang agak sepi mereka menemukan penjual bakso pikulan. Sambil menyantap bakso mereka berbincang

" Saking wetan to, bapak ? " Tanya penjual bakso dengan aksen Wonosari.

" Iya....Dari Yogya....."

" Oh....sama...Saya juga dari Yogya......"

" Yogyanya dimana ? "

" Saking Wonosari, pak."

Tiba- tiba mbah Suto teringat sesuatu. Bahwa ia sampai datang ke Jakarta ini atas dorongan dari temannya penjual bakso di Yogya. Iapun lantas teringat kata-kata temanya pada waktu itu.

" Kalao pak Suto kepingin hijrah ke Jakarta.....Saya punya saudara disana."

" Oh, iya? "

" Namanya SUPARMIN..... Dia bertiga disana dengan temannya. Mengontrak satu rumah...Mereka baik-baik semua. Kalau ada teman datang dari Yogya pasti mereka dengan senang hati menampungnya. "

Demikian perbincangan mbah Suto dengan si penjual bakso pada waktu itu.

" Maaf......Apa njenengan kenal dengan yang namanya Permin? penjual bakso juga"

" Waduh.....disini ini yang jual bakso banyak sekali. Dari Wonosari dan Wonogiri. Yang namanya Parmin saja ada tiga... Parmin yang mana, ya....?"

" Hem.......aduh....gimana ya.....?"

" Alamatnya aja dimana, pak ?"

Sekali lagi mbah Suto tiba-tiba menampakan wajah pucat dan gugup. Ia teringat alamat yang tertulis itu ada didalam dompet yang hilang. Ia kembali merogoh saku celananya walaupun ia sadar bahwa dompet itu sudah tidak ada.

" Ya, Allah.....kertas alamat itu ada didompet yang hilang....." Suara mbah Suto lirih.

Namun penjusl bakso itu mendengarnya. " Hilang, pak ? "

" Iya diambil copet waktu di kereta l..."

" Ya, ampuuuun. Kurangajar banget copet itu. Tidak pandang bulu "

" Yah sudahlah... Sudah hilang. Mau apa lagi. Digelani yo rabali. Ndak mungkin kembali lagi. "

" Hemmmm......Gimana, ya ? atau ciri- ciri orangnya gimana, pak ? "

Sejenak ia terdiam berusaha mengingat-ingat kata temannya yang di Yogya lalu...

" Emm..... Orangnya agak pendek, kulitnya coklat dan rambutnya plontos. Dia tidak suka merokok. "

" Oh jelas sekarang. Kebetulan sekali dia itu teman saya. Satu rumah kontrakan dengan saya dikampung melayu Jatinegara. Apakah teman bapak yang di Yogya itu namanya SLAMET ? "

" Yah, betul, mas. Betul sekali.."

" Itu kakak iparnya mas Parmin, pak."

" Oh, begitu. "

" Berarti ini serba kebetulan sekali pak. Sekarang gini aja pak. Sebetulnya saya ini sedang libur tidak jualan..."

" Lo.....terus bakso ini? "

" Ini milik teman saya dari Wonogiri. Orangnya sekarang lagi ke toilet....Nah, itu dia datang....."

GIMAN sipenjual bakso itu datang. Setelah berkenalan dan bincang-bincang sekedarnya. Penjual bakso pertama yang ternyata bernama SUKMA itu Bersama mbah Suto dan cucunya pulang kerumah kontrakan.

Dirumah kontrakan semacam barak berdinding tembok didepan dan gedeg dibelakang. Rumah yang luasnya 74 meter persegi itu. dihuni tiga orang.

SUKMA, PARMIN dan KAMTO. Kini. ketambahan mbah SUTO dan JUNO. Sedang kamarnya hanya tiga buah. PARMIN menawarkan kamarnya untuk mbah Suto.Tapi orang tua itu keras menolaknya. Ia dan cucunya memilih tidur lesehan lebih sreg.

Begitu sampai memasuki rumah itu Juno langsung tertidur diatas gelaran tikar.

Bersambung
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel