mBah Suto bersama cucunya mengadu nasib ke Jakarta (1)

mBah Suto bersama cucunya mengadu nasib ke Jakarta (1)

Dompet yang disimpan disaku celana telah hilang. Ia mencoba merogoh saku-saku yang lain tapi tak ditemukan

Oleh: Nonodiono W

Cerita ini terjadi pada tahun sekitar paska pemberontakan PKI didaerah kota Yogyakarta. Adalah SUTO NARENDRO yang kemudian kita sebut mbah SUTO seorang duda 63 th yang berniat hijrah ke ibu kota untuk mengadu nasib. Bersama cucu kesayanganya HARJUNO RASMONO 10 th. Yang kemudian kita sebut JUNO.

Dengan berbekal keahliannya dibidang perbengkelan motor ia berkeyakinan bahwa niat itu akan membuahkan hasil yang lebih baik

Bangunan rumah kotangan yang tanahnya milik haji Burhanan itu telah dijual (tanpa tanah) dengan harga dibawah standar mengingat kebutuhan yang mendesak. Hasil dari penjualan itu kemudian dibagi menjadi dua.

Separuh untuk dirinya sebagai bekal dan modal hidup dijakarta nanti. Sedang separohnya ia serahkan pada BAGAS TUWUHURIPAN 45 th.

Satu-satunya anak mbah SUTO yang hidupnya serba tidak berkecukupan. Duit yang tidak seberapa itu kemudian oleh pak TUWUH dipergunakan untuk mengontrak sebuah rumah kecil sampai lima tahun kedepan dipinggiran kota. Bersama istri RANTI SWARSINI dan keempat anaknya yang masih kecil-kecil.

Sore itu SUTO NARENDRO dan HARJUNO RASMONO. Nampak melangkah berat meninggalkan rumah dan kampung halamanya. Dihantar Pak TUWUH dan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.

MASRAGIL cucu yang paling bungsu menangis dan meronta pingin ikut kakanya. Karena dialah yang setiap harinya bisa momong hati sikecil.

Akan halnya si RUSMARINI anak TUWUH atau cucu yang paling besar beruraikan air mata merasa sedih dan haru melihat kegigihan simbah kakungnya untuk mengadu nasib.

Mereka mengantar sampai ke jalan aspal. Sebuah koper besi berisi perkakas perbengkelan sederhana dan tas ransel berisi pakain berada ditangn mbah SUTO. Sedang sikecil JUNO menenteng sebuah tas kain yang nampak keberatan dipanggulnya.

Ketika senja tembaga meredup diufuk Barat. Kereta ekononi sepanjang sepuluh gerbong yang penuh sesak penumpang rakyat kelas bawah, hingga bergelantungan di pintu-pintu dan diatas gerbong kereta itu.

Mirip seekor naga raksasa yang meraung ditengah kota. Dengan Suara bising pengumuman dari horn dan suara panjang peluit kereta yang sangat memekakan telinga itu bercampur dengan riuh rendahnya suara bakul menawarkan dagangannya. Sungguh sangat menambah lelahnya isi kepala.

mbah Suto dan Juno tidak kebagian tempat duduk. Mereka berdiri didekat pintu, bersebelahan dengan toilet yang aromanya minta ampun.

Seorang kondektur nampak kesulitan mencari jalan. Dengan tangannya yang kekar ia berusaha menyingkirkan para penumpang yang berjubel.

Dan ketika sampai padanya mbah Suto Mengulurkan dua lembar karcis berwarna hijau tua. Lalu diterimanya kembali setelah diberitanda lobang.

Ketika seorang suami istri yang berada disebelahnya dengan dua anak kecilnya dimintai karcis. Ia Mengulurkan dua karcis.

" Dua anak ini puteranya? " Tanya kondektur.

" Iya, pak ini anak kami "

" Karcisnya ? "

Suami isteri itu saling memandang. Setelah siistri memberi kedipan. Sisuami lantas Mengulurkan selembar uang senilai dua bungkus rokok 555 pada kondektur. Kondektur itu kembali mencari jalan sambil menyimpan uangnya dikantong celana. Tanpa tambahan kata-kata.

Memasuki daerah Purwokerto jalan kereta sudah mulai dikurangi kecepatannya. Para penumpang yang hendak turun dikota ini segera bersiap-siap. Mengemasi barang bawaannya.

Mendekati stasiun Perwokerto kereta memperlambat jalannya. Saat inilah orang mulai berdesakan mencari jalan ingin cepat keluar.

" Bapak turun, mana ? " Tanya srorang lelaki kekar berwajah sangar berada mepet didepan mbah Suto.

" Eh saya turun...... Mau ke Jakarta "

" Kalu gitu minggir...!!! Jangan menghalangi orang lewat.! " Berkata begitu lelaki itu setengah mendorong hingga mbah Suto hampir terjatuh.

Tapi. orang dibelakang mbah Suto segera mendekap dengan erat kemudian meletakkan mbah Suto pada kursi yang kosong.

" Terima kasih, mas "

" Sama-sama. " Jawap lelaki gondrong sambil pergi bersama lelaki yang tadi mendorongnya.

Kereta berhenti agak lama. Cukup untuk istirahat dari sumpeknya keadaan. Mbah Suto turun dari kereta bersama cucunya.

Mereka beli pecel kecombrang dua pincuk. Lalu mengeluarkan dari tasnya dua bungkus nasi putih dan dua butir telur asin. Juno nampak bahagia dengan wajah berseri menghabiskan nasi pecel itu disisi mbah kakungnya.

Mbah Suto pun tak kalah senangnya melihat cucu kesayangannya makan dengan lahapnya.

" Kung, belikan es Kung." Pinta Juno sedikit manja dengan wajah tetap berseri.

" Kamu kepingin es ? "

" Iya, Kung....Dari tadi haus banget. "

mbah Suto berdiri merogoh saku belakang celananya. Tiba- tiba ia terkaget dengan wajah seketika memucat pasi.

" Astaghfirullahal adziim.....Dompet ku.....???? "

Dompet yang disimpan disaku celana telah hilang. Ia mencoba merogoh saku-saku yang lain. Tak menemukan. Dompet itu telah raib. Seketika tubuh lelaki tua terasa lemas. Dengan pandangan mata bingung dan kecewa.

" Kung....kenapa.. Duitnya ilang ya, Kung ? "

mbah Suto terduduk pucat pasi. Cucunya yang memperhatikan kesusahan mbah Kakungnya jadi sedih hampir menangis...

"Terus gimana ini, kung...kalau duitnya ilang???"

Orang tua itu mencoba memeras ingatanya. Tak menemukan. Ia ingat betul dan yakin bahwa uang itu ada disitu. Didompetnya.

Peluit panjang sudah melengking ketika mbah Suto baru tersadar bahwa mereka hampir tertinggal. Cepat-cepat mbah Suto menggandeng cucunya naik keatas kereta.

Namun kereta itu sudah bergerak pelan. Dan karena dipintu itu orang berdesakan saling berebut cepat, sang cucu tertinggal diluar.

Ia terus berusaha mengejar dengan melambai-lambaikan tangan kecilnya. Orang-orang yg melihatnya dari atas kereta ataupun yang disekitarnya mulai ikut merasa khawatir, kasihan dan cemas.

Anehnya mereka hanya kami tenggengen tak mampu untuk berbuat sesuatu. dan kemudian....Terdengar suara parau mbah Suto yang terus memanggil-manggil nama cucunya.

" Juno.......Juno..... Harjunooooo.....!!!! " Ketika hampir terti nggal dua gerbong. Ketika orang- orang ikut menjerit histeris karena anak itu lemas, hampir yerjatuh kehabisan tenaga. Seorang tentara baret merah dengan keahlian dan keberaniannya cepat menyahut anak itu dari pintu paling belakang.

Dengan tangan kiri berprgang pada besi pintu dan tangan kanan menyahut tubuh Juno. Sejenak masih bergelantungan mereka. Dan suara jeritan ketakutan anak itu kemudian melemah ketika tiba-tiba......

bersambung

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel