mBah Suto bersama cucunya mengadu nasib ke Jakarta (36)

mBah Suto bersama cucunya mengadu nasib ke Jakarta (36)

Seketika Juno tertawa riang melihat bapaknya mirip orang lndia. Hidungnya mancung dan berkumis.



Oleh: Nonodiono W

Dibawah penerangan lampu minyak teplok. Pak Tuwuh duduk dikursi sedang suntuk hendak membuat kaca mata palsu. Bahan yang disediakan adalah. Kawat, kertas buffalo dan ijuk.Gunting,tang dan lem kertas

Kawat ia tekuk sedemikian rupa hingga membentuk frame kacamata. Diberi gagang kiri dan kanan. Lalu ditengahnya dilengkapi dengan hidung dari kertas buffalo. Dibawah hidung ditempeli ijuk hitam sebagai kumis.

Juno sangat suntuk memperhatikan pembuatan kacamata itu. Setelah selesai kaca mata itu dicoba untuk dipakai bapaknya. Seketika Juno tertawa riang melihat bapaknya mirip orang lndia. Hidungnya mancung dan berkumis. Rosmarini yang juga ada disitu sedang membaca buku jadi ikut tertawa terpingkal-pingkal. Ini membuat seisi rumah berkumpul disitu. Ikut tertawa.

" Bapak koyo wong Turky..... Ha ha ha ha ha...." Komentar Juno sedikit heran.

" Ini besuk buat bapak pakai untuk ngamen. Biar ndak dikenal wajahnya." Kata bapaknya sambil menimang hasil karyanya.

" Oh, hooh....Aku dibikinkan juga pak...! " Pinta juno pada bapaknya.

" Besuk minggu aku mau ikut ngamen ya, pak... "

" Kamu mau..? " Tanya bapaknya serius.

" Mau...mau...mau Pakai kaca mata.." Sahut juno bersemangat.

" Betul ya...kamu mau kan? " Tanya Rosmarini meragukan kesungguhan adiknya.

" Iya....aku pingin ikut...."

Jam setengah sepuluh ketika mata hari belum menyengat. Juno dan bapaknya sudah berangkat meninggaljan rumah. Ukulele dimasukan kedalam tas kain cangklong dipundak bapaknya.

Mereka naik bis turun di tempat seperti kemarin. Uang sangunya pas untuk bayar bus. Dan kali ini mereka akan menyisir rumah-rumah kampung Tahunan. Rumah yang pertama mereka datangi adalah sebuah warung kelontong disudut jalan.

Lagu keroncong dewi murni ia bawakan dengan syahdu. Suara dawai ukulele yang ia petik sungguh harmoni dengan irama lagunya. Selesai satu lagu Sipemilik warung mengulurkan sekeping uang receh. Pak Tuwuh menerima dengan hormat.

" Pak....belikan es apolo pak... Aku ngelak je....." Pinta Juno pada bapaknya.

" Hah es apolo? " Tanya bapaknya.

" Iya...haus banget."

" Pinten bu es apolo? " Tanya pak Tuwuh pada pemikik warung.

" Oh, kamu pingin es apolo le? Ya sudah ambil saja ndak usah bayar...." Kata pemilik warung dengan wajah berninar.

Juno mengambil es itu.

" Matur nuwun, bu." Ucap pak Tuwuh.

" Nggih, monggo " Jawab pemilik warung itu menatap haru pada Juno. Begitulah sampai keduanya pergi.

Mereka terus menyisir rumah demi rumah diselingi kebun-kebun rumput alang-alang. Setelah melewati persawahan, terdapat perkampungan lagi yang cukup padat.

Rumah demi rumah. Tidak semua pintu terbuka Mengulurkan uangnya. Tidak semua orang berada menerima kehadirannya. Setelah melewati rumah-rumah yang jaraknya berjauhan sampailah mereka dijalan besar.

Diseberang jalan ini terdapat sebuah bangunan kuno. Bangunan yang terkesan tidak terawat hingga disana sini banyak yang rusak ditumbuhi rumput alang-alang liar.

Apabila kita masuk kedalamnya terdapat sebuah kollam. Orang sekitar menyebutnya Tuk Umbul ada pula yang menyebut Umbul Harjo.

Ketika keduanya menyebrang dan mencoba nengok kedalam bangunan peninggalan kerajaan Mataram itu, ada lima bocah laki perempuan yang mandi disitu. Air yang bening dan bersih itu menarik perhatian juno untuk ikutan mandi.

" Pak, aku pingin mandi jew..."

" Hah......? "

" Hawane panas. ! "

" Yah sudah sana mandi dulu... Sebentar saja ya...."

Dengan girangnya Juno cepat melepas pakiannya lalu byuuur. Meloncat ketengah kolam.
Dari bawah pohon rindang pak Tuwuh memperhatikan tingkah anaknya itu dengan senang dan sabar.

Tiupan angin semilir sepoi menggoyang dedaunan hijau dan menerbangkan daun kering untuk jatuh ketanah. Betapa cocok istirahat siang diketeduhan dalam cuaca yang cukup panas begini. Kata hati pak Tuwuh.

Terdengar kemudian lamat-lamat suara klenengan gamelan dari radio nun jauh diseberang sana menjadikan suasana semakin teduh. Suara klenengan belum berhenti ketika Juno sudah selesai mandi. Dengan badan masih basah Juno naik keatas batu dekat bapaknya. Mengeringkan badan.

Sejenak kemudian Juno lantas cepat mengenakan pakaiannya. Mereka berdua meninggalkan tempat itu.

Baru saja keluar dari sendang, seorang bakul minuman rujak gobet pikulan melintas didepannya. Rujak gobet yang terbuat dari se kuwali air gula Jawa. Dikasih irisan timun lembut-lambut dan di taburi rajangan cabe rawit.

Di kasih sedikit kencur dan diberi penyedap jeruk nipis Spontan saja bakul itu menarik perhatian Juno.

" Pak, belikan itu.....pak...Rujak gobet. "

Tanpa berpikir dua kali pak Tuwuh langsung mengiyakan. Diatas pikulan itu juga ada beberapa panganan Singkong, kacang kulit dan pisang rebus.

Pak Tuwuh mengambil sepotong singkong rebus. Sambil menyeruput rujak gobetnya Juno juga ambil sepotong singkong rebusnya.

Setelah sekian langkah mereka berjalan sampailah didepan gerbang. Pintu masuk kebun binatang Gembira loka. Matahari telah bergeser sedikit kebarat.

Banyak wisatawan domestik yang baru datang dan masuk. Mereka datang dengan bus atau mobil pribadi. yang diparkir berjajar keutara.

pak Tuwuh kemudian menyisir warung-warung disisi jalan yang umumnya berisi empat-lima pembeli. Dari beberapa warung itu pak Tuwuh dapat duit cukup.

bersambung
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel